Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menciptakan generasi emas pada 2045, berpotensi terhalang akibat tingginya prevalensi rokok muda saat ini.
Dalam Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 tercatat prevalensi perokok elektronik penduduk usia 10 tahun-18 tahun sebanyak 1,2 persen. Lalu meningkat menjadi 10,9 persen pada 2018.
Angka peningkatan rokok elektronik pada usia remaja berusia 10 tahun-18 tahun lebih tinggi dibandingkan dewasa yang berusia di atas 15 tahun.
Nina Samidi, Manajer Komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau mengungkapkan rokok elektronik seperti vape atau mods-pods memiliki nikotin dan sangat adiktif. Dia mengungkapkan sasaran pasar produk ini adalah remaja.
"Apapun namanya dan mereknya, hanyalah produk pengganti oleh produsen rokok besar untuk memperpanjang usia kerajaan bisnisnya. Sama sekali bukan alat untuk membantu berhenti merokok dan sama sekali tidak harmless (kurang berbahaya)," ungkapnya.
Dia mengungkapkan bahwa cukup banyak e-cigarette yang menuliskan dalam kemasan non-nikotin, tetapi hal tersebut tidak bisa langsung dipercayai. Namun, temuan BPOM membuktikan beberapa di antaranya tetap mengandung nikotin meskipun dalam kemasan tertulis non-nikotin.
Beberapa tahun terakhir, perusahaan tokok mulai menciptakan kampanye bebas asap rokok yang dibakar. Namun, muncul kampanye uap rokok yang dipanaskan diklaim aman.
Saat e-cigarette diklaim aman, katanya, hal tersebut adalah strategi marketing rokok untuk mengajak anak muda mencoba produk mereka yang mengandung nikotin.
Baca Juga Apa Saja Jenis Rokok Elektrik? |
---|