Ilustrasi obat-obatan tablet dan kapsul./REUTERS-Srdjan Zivulovic
Health

Covid-19 Setir Pasar Farmasi Indonesia

Desyinta Nuraini
Kamis, 4 Juni 2020 - 17:41
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi virus corona atau Covid-19 telah mengubah pasar farmasi di Indonesia.

Sebelum terjadinya wabah Covid-19, Indonesia merupakan pasar farmasi terbesar di Asia Tenggara. Menurut Fitch Solutions, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara dengan pertumbuhan sektor farmasi tercepat di kawasan Asia Tenggara selama beberapa dekade ke depan.

Namun menurut Oxford Business Group (OBG), akibat pandemi virus corona, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas dan diversifikasi produksi farmasi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mendesak, serta mampu melindungi negara dari keadaan darurat kesehatan yang mungkin terjadi ke depannya.

Pada bulan Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan bahwa wabah Covid-19 sebenarnya telah menciptakan peluang untuk mendorong produksi farmasi dalam negeri dan meningkatkan penyerapan bahan baku lokal untuk proses manufaktur obat-obatan. Sekadar informasi, sekitar 90 persen bahan baku yang digunakan oleh perusahaan farmasi di Indonesia merupakan produk impor, dimana 60% persen diimpor dari China.

Terkait hal tersebut, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memperkirakan bahwa rata-rata kapasitas produksi industri farmasi Indonesia turun ke 55-60 persen pada bulan Mei karena adanya gangguan rantai pasokan akibat pandemi. Dengan demikian, para produsen farmasi di Indonesia mulai mempertimbangkan untuk mendiversifikasi rantai pasokan ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, tak hanya dari China.

Dalam publikasi Bisnis, pertengahan Mei 2020, Kawasan Industri Wijayakusuma di Brebes, Jawa Tengah, sedang dipersiapkan untuk menampung sejumlah perusahaan farmasi AS yang berencana pindah dari China ke Indonesia. Meskipun nama perusahaan dan nilai investasinya belum diumumkan, keputusan ini merupakan hasil diskusi yang dilakukan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Donald Trump pada bulan April. Proyek ini sedang dalam tahap perencanaan tata ruang regional dan diperkirakan akan memakan waktu 6 hingga 12 bulan sebelum konstruksi dimulai.

Pasar farmasi Indonesia memang telah berevolusi secara signifikan sejak 2014 saat pemerintah meluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurut OBG, meskipun mengalami defisit keuangan, JKN merupakan langkah besar Indonesia dalam memperluas cakupan perawatan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu dan mereka yang tinggal daerah terpencil.

JKN sebenarnya dinilai cukup mengganggu industri farmasi. Meskipun mampu memperluas cakupan pasar dan menyediakan akses layanan dan perawatan kesehatan bagi masyarakat luas, pemerintah memasang harga yang cukup ketat untuk obat-obatan yang diterima dalam JKN. Obat-obatan ini kemudian disediakan secara gratis untuk warga negara yang memenuhi syarat saat berobat.

Awalnya, jumlah pasien JKN terus menigkat pesat sedangkan jumlah pasien out-of-pocket (menanggung biaya sendiri) menjadi cenderung stagnan. Namun, banyak pasien yang akhirnya lebih memilih menanggung biaya kesehatan sendiri untuk merawat kondisi tertentu karena tak ingin berlama-lama menunggu saat memanfaatkan JKN.

Dalam hal ini, yang mampu bertahan di tengah gangguan pasar akibat wabah Covid-19 adalah perusahaan farmasi yang memiliki portofolio terdiversifikasi. Perusahaan seperti ini biasanya tidak bergantung pada produksi obat-obatan tertentu yang digunakan untuk penyakit langka ataupun penyakit non-kritis. Hal ini sangat penting karena layanan kesehatan tertentu seperti layanan dokter gigi hampir seluruhnya dihentikan selama pandemi.

Jorge Wagner, Country President Novartis Indonesia, mengatakan bahwa jumlah pasien yang berkunjung ke rumah sakit dan menerima perawatan untuk penyakit kronis selama pandemi turun secara signifikan. Dia menambahkan bahwa perusahaan farmasi yang memiliki produk vitamin, suplemen, dan produk kesehatan out-of-pocket dinilai mampu bertahan di tengah pandemi covid-19 ini.

"Akibat pandemi Covid-19, rumah sakit ditekankan untuk mengurangi jumlah pasien berkunjung atau rawat inap. Produk yang dapat mencegah atau mengurangi jumlah pasien rawat inap tentunya akan lebih disukai," kata Wagner dalam siaran pers OBG, Kamis (4/6/2020).

Ke depan, Wagner menilai bahwa pandemi Covid-19 tidak akan berdampak besar pada bisnis Novartis Indonesia. Namun, perusahaan akan melakukan perubahan terhadap berbagai praktik bisnis secara jangka panjang, terutama dalam hal promosi karena pasar yang terus berubah dan demi menciptakan lebih banyak inovasi seperti layanan telemedicine.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro