Bisnis.com, JAKARTA -- Obat modern asli Indonesia (OMAI) belum mendapatkan tempat di dunia farmasi Indonesia. Mayoritas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menggunakan obat kimia yang bahan bakunya 95 persen diimpor.
Sejauh ini OMAI belum dapat dijadikan obat rujukan di Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena tidak tertuang di Permenkes No 54 Tahun 2018 mengenai Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Sehingga, selama ini OMAI hanya dijadikan pelengkap obat kimia. Padahal, pemanfaatan OMAI sejalan dengan Inpres No 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Obat dan Alat Kesehatan.
Molecular Pharmacologist Dr. Raymond Tjandrawinata berharap bahwa kedepannya OMAI bisa dipercayai di Indonesia, karena para tenaga kesehatan di luar negeri juga sudah tidak segan meresepkan OMAI. Sebagai contoh, di Jerman 60% dokter sudah meresepkan herbal, di Korea 18% sudah meresepkan herbal. Namun, di Indonesia ada rasa keengganan.
“Saya rasa yang di swasta mungkin sudah mengenal OMAI, kami juga melakukan banyak sekali edukasi tapi dokter-dokter Puskesmas, RSUD dan lainnya belum meresepkan OMAI, mereka justru tidak bisa meresepkan karena belum terbukanya ini [OMAI] ke dalam JKN,” katanya dalam Webinar Dialog Nasional yang digelar Kompas TV, Senin (21/12/2020).
Adapun, Sekretaris Jenderal Kemenkes RI, Oscar Primadi mengatakan bahwa pengembangan bahan baku obat asli di Indonesia, tentunya sudah ada berkenaan dengan permenkes 54 sebetulnya tidak ada masalah. Bukan tidak mungkin Permenkes ini bisa diubah.
“Bukan tidak mungkin kita lakukan perubahan penyesuaian sesuai perkembangan, dan berpihak dengan kepentingan publik. Sudah banyak juga regulasi-regulasi juga ada juga pemanfaatan dana regulasi khusus dll disitu dimungkinkan fasyankes untuk membeli obat2an yg berkaitan dengan fitofarmaka,” katanya.
Oscar menambahkan bahwa, berbicara soal Fornas, saat ini pihaknya sedang merumuskan hal-hal yang mungkin bisa ada aturan sendiri tentang OHT FitoFarmaka. Selain itu, butuh sinergi semua pihak agar cita-cita OMAI ini bisa tercapai.
“Semuanya hulu hilir harus terbangun , dalam konteks hilir pariwisata yg sangat dominan penting sekali. Kami sudah merambah kesana kami dari kemenkes penguatan sistem kesehatan kita punya poltekkes ada satu jurusan mendalami persoalan obat tradisional dan di dekat tawangmangu ada puskesmas yg memfokuskan pada pengobatan tradisional bukan tidak mungkin kita bisa bangun bersama dr insan medis dan masyarakat,” katanya.
Sementara, Dekan FKUI Ari Fahrial Syam mengatakan bahwa saat pandemi hal ini menjadi kebutuhan luar biasa, pihaknya butuh orang ketiga seperti perusahaan untuk bisa melihat dan membantu. Contohnya curcumin milik UI juga sudah dilihat sama perusahaan.
“Sebenarnya kita punya kemampuan tapi yang selalu diunggulkan impor, kami terus terang mendukung. Misalnya sudah herbal standar, kita bisa bantu untuk riset tersebut tapi persoalannya biaya karena uji klinis biayanya besar,” ujarnya.