Bisnis.com, JAKARTA -- Kehamilan dan menyusui adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh wanita. Tidak hanya di dalam keluarga, lingkungan pun perlu mendukung agar wanita bisa mendapatkan kedua hak tersebut.
Bagi ibu bekerja, hak-hak tersebut dijamin oleh negara. Sayang, dalam praktiknya masih ada sejumlah perusahaan yang mangkir dari kewajiban tersebut.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Teman Bumil dan Populix pada 1.024 ibu di Indonesia, dari 707 responden, masih ada 3 persen wanita yang mengaku tidak diperbolehkan hamil selama masa bekerja dan 17 persen tidak mendapatkan hak cuti melahirkan selama 3 bulan. Bahkan, 30 persen dari mereka tidak mendapatkan gaji secara penuh selama cuti melahirkan.
Padahal jika merujuk pada UU RI No. 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1 dan pasal 84, wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, serta mendapatkan upah penuh pada masa tersebut.
Friska Finalia Sitohang, HR Manager PT Global Urban Esensial (GUE) yang merupakan bagian dari Dexa Group, mengatakan bahwa dari kasus-kasus yang terjadi, biasanya perusahaan yang melanggar aturan adalah perusahaan yang segi keuangannya tidak stabil.
“Mereka memainkan ini supaya sustainability perusahaan mereka tetap terjaga. Padahal yang mereka tidak ngeh, jika mau dibawa ke jalur hukum, mau dibawa ke dinas ketenagakerjaan, mereka akan kalah pasti,” ungkapnya, dalam keterangan yang diterima Bisnis, Kamis (28/1/2021).
Senada dengan hasil survei dari Teman Bumil dan Populix, Maria Ulfah Anshor, komisioner Komnas Perempuan, berpendapat bahwa meski kebijakan terkait hak untuk hamil dan menyusui bagi ibu bekerja sudah baik, tetapi implementasinya belum ideal. Misalnya bagi pekerja kontrak yang masih dibatasi untuk tidak boleh menikah dan memiliki anak dalam masa tertentu.
Fina menyebutkan bahwa pelaku usaha sudah seharusnya bisa berkomitmen dengan peraturan yang ada ketika mengubah perusahaan mereka dalam bentuk PT (Perseroan Terbatas) atau badan usaha. Mereka juga harus siap untuk menyiapkan semua fasilitas pendukung.
Karenanya, wanita berhak untuk menuntut maupun melaporkan perusahaan tempat mereka bekerja jika tidak mendapatkan haknya untuk hamil dan menyusui. Maria menjabarkan, Komnas Perempuan terbuka untuk membantu memberikan rujukan atau memberikan semacam surat keterangan untuk melanjutkan pengaduan ke kementerian ketenagakerjaan.
Sejauh ini jika kasus terkait upah, ujar Maria, akan ada proses pemanggilan lalu pertemuan antara perusahaan, tenaga kerja, dan kementerian untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu. Fina pun menambahkan, akan dirundingkan secara internal dan ada peraturan perusahaan yang diubah, dengan harapan masalah bisa diselesaikan tanpa harus dibawa ke jalur hukum. Apabila perusahaan masih membangkang, maka bisa dilaporkan ke polisi.
Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix, 25 persen dari 707 wanita menyebutkan tidak mendapatkan penjelasan terkait hak-haknya selama hamil dan menyusui. Namun, bukan berarti wanita tidak punya hak untuk bertanya.
Dari pengalaman Fina selama menjabat sebagai tim HR, dia mengaku langka sekali bertemu calon karyawan wanita yang bertanya mengenai hak-haknya terkait hal tersebut. Yang ditanyakan biasanya tidak jauh dari berapa gaji yang didapatkan, tunjangan apa saja yang diberikan, serta fasilitas yang sifatnya barang, bukan servis dari perusahaan. Padahal, kritis untuk bertanya selama proses negosiasi merupakan poin penting agar wanita tahu persis apakah hak-haknya terkait kehamilan dan menyusui dijamin oleh perusahaan.
Seperti pengalaman seorang ibu bekerja berinisial IS yang mengaku tidak mengetahui sama sekali mengenai haknya. “Beberapa hari sebelum cuti melahirkan, saya dipanggil oleh editor in chief saya. Di situ disampaikan kalau saya punya opsi, kerja dari rumah dan dapat gaji penuh atau full cuti melahirkan, tetapi tidak digaji. Karena saya murni tidak paham tentang hak saya dan terdorong kondisi mesti bekerja, daripada tidak digaji akhirnya saya setuju tetap bekerja,” curhatnya.
Alhasil selama proses pemulihan pasca-persalinan, dia harus tetap bekerja dari rumah. Kondisi ini membuatnya stres, baby blues, dan tidak bisa menyusui karena ASI-nya tidak keluar. Hal tersebut pun berdampak terhadap hubungannya dengan suami.
Fina juga menyarankan agar wanita harus spesifik bertanya kepada tim HR jika mereka hamil. Bagaimana skema cuti melahirkan yang ditetapkan, apakah pembagiannya sesuai aturan pemerintah atau bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Tanyakan pula jika mengalami keguguran apakah mendapatkan hak untuk cuti istirahat atau tidak. Kemudian tanyakan fasilitas pendukung apa saja yang ada di perusahaan tersebut, apakah ada nursing room, tempat menyimpan ASIP, serta daycare.
Pasalnya, berdasarkan hasil survei Teman Bumil dan Populix, dari 339 responden, 53 persen mengaku tidak tersedia ruang menyusui dan 45 persen mengaku tidak tersedia ruang tempat menyimpan ASIP di tempat kerja mereka. Padahal dalam UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128, seharusnya waktu dan fasilitas khusus untuk mendukung pemberian ASI disediakan oleh perusahaan. Sementara, hanya 14 persen ibu bekerja yang mengatakan ada fasilitas daycare di tempat mereka bekerja.
“Tanyakan hal-hal utama berdasarkan aturan pemerintah, hal-hal pendukung yang perusahaan berikan, dan fleksibilitas dari peraturan pemerintah yang diciptakan oleh perusahaan. Justru kalau calon karyawan bertanya ini itu kita happy. Berarti ada ketertarikan lebih untuk long last bekerja di kita,” jelas Fina.