Bisnis.com, JAKARTA - Paparan polusi udara pada masa anak-anak ternyata mempengaruhi kesehatan mental ketika beranjak dewasa.
Temuan yang dipublikasi di JAMA Network Open, kemarin, Rabu (28/4/2021) mengungkapkan bahwa gejala penyakit mental itu muncul pada usia 18 tahun.
Penulis utama studi yang merupakan seorang mahasiswa pascasarjana psikologi klinis di Duke University Aaron Reuben mengatakan polutan udara luar bisa menjadi penyumbang yang signifikan terhadap beban global penyakit kejiwaan.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini diperkirakan 9 dari 10 orang di seluruh dunia terpapar polusi udara luar ruangan tingkat tinggi, yang dipancarkan selama pembakaran bahan bakar fosil di mobil, truk, pembangkit listrik, pabrik, pembuangan limbah, dan proses industri.
Dalam studi ini, neurotoksikan seperti paparan timbal pada masa anak-anak diketahui membahayakan kesehatan mental.
Studi sebelumnya yang melibatkan Helen Fisher dari Institut Psikiatri Psikologi dan Saraf King's College London juga menyatakan polutan udara dapat memperburuk risiko psikosis di kemudian hari. Mereka juga mencatat risiko penyakit mental dapat muncul secara berbeda pada setiap anak.
Adapun subjek penelitian ini adalah kelompok 2.000 anak kembar yang lahir di Inggris dan Wales pada 1994-1995. Mereka secara teratur berpartisipasi dalam evaluasi kesehatan fisik dan mental, serta memberikan informasi tentang kondisi tempat tinggal.
Peneliti mengukur keterpaparan terhadap polutan udara, terutama nitrogen oksida (NOx), polutan gas yang diatur, dan materi partikulat halus (PM2.5), polutan aerosol yang diatur dengan partikel tersuspensi berdiameter di bawah 2,5 mikron.
Kemudian peneliti memodelkan kualitas udara di sekitar rumah responden pada usia 10 dan 18 tahun menggunakan model dispersi udara berkualitas tinggi dan data yang disediakan oleh Inventarisasi Emisi Atmosfer Nasional Inggris serta inventaris emisi lalu lintas jalan raya Inggris dari Imperial College.
Haislnya, 22 persen dari responden memiliki paparan NOx yang melebihi pedoman WHO, dan 84 persen memiliki paparan PM2.5.
Tim peneliti yang berbasis di Duke and King's IoPPN, juga menilai kesehatan mental peserta pada usia 18 tahun. Gejala yang diteliti seperti ketergantungan pada alkohol, ganja, atau tembakau.
Lalu, gangguan attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), depresi berat, gangguan kecemasan umum, gangguan stres pascatrauma, gangguan makan, gejala gangguan pikiran yang berkaitan dengan psikosis.
Peneliti menghitung faktor psikopatologi atau faktor p untuk menentukan skala gangguan mental tersbut. "Semakin tinggi skor faktor p seseorang, semakin besar jumlah dan tingkat keparahan gejala kejiwaan yang teridentifikasi," tutur Reuben seperti dilansir dari Medical Xpress, Kamis (29/4/2021).
Efek polusi udara pada kesehatan mental diamati di seluruh subdomain psikopatologi ini, dan paling banyak ditemukan gejala gangguan pikiran pada subjek penelitian.
Di masa depan, tim peneliti tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang mekanisme biologis yang menghubungkan paparan polusi udara awal kehidupan dengan risiko penyakit mental yang lebih besar pada masa transisi ke masa dewasa.
Bukti sebelumnya menunjukkan bahwa paparan polutan udara dapat menyebabkan peradangan di otak, yang menyebabkan kesulitan mengatur pikiran dan emosi. Meskipun temuan ini paling relevan untuk negara-negara berpenghasilan tinggi seperti AS dan Inggris, ada juga implikasi untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang dengan paparan polusi udara yang lebih tinggi, seperti China dan India.
"Kami tidak tahu apa konsekuensi kesehatan mental dari paparan polusi udara yang sangat tinggi, itu adalah pertanyaan empiris penting yang kami selidiki lebih lanjut," kata Fisher.