Bisnis.com, JAKARTA - Ratusan pejabat di AS dilaporkan mengalami sindrom havana.
Hal ini, membuat beberapa negara membatasi perjalanan para pejabat itu ke negara mereka.
Lantas apa sebenarnya sindrom havana? Sindrom Havana merupakan penyakit misterius yang telah menyerang sekitar 200 pejabat AS di berbagai negara. Mengutip dari Medicine Net, sindrom ini pertama kali menyerang petugas intelijen AS dan staf kedutaan yang ditempatkan di Havana, Kuba, pada akhir 2016.
Gejala sindrom Havana mirip dengan gegar otak atau cedera kepala ringan. Mulanya, diplomat di Kuba melaporkan gejala berupa suara menusuk yang keras di malam hari, tekanan kuat di wajah, rasa sakit, mual, pusing, hingga kesulitan berkonsentrasi.
Pada tahun-tahun berikutnya, banyak perwira intelijen dan personel militer yang melaporkan gejala lain seperti kebingungan, disorientasi, kabut otak, masalah memori, sensitivitas cahaya, dan keluhan terkait tidur (mengantuk dan insomnia).
Sindrom Havana juga memiliki gejala sisa jangka panjang yang meliputi migrain, masalah dengan penglihatan jauh, menyipitkan mata, vertigo, dan mimisan.
Penyebab pasti dari sindrom Havana belum diketahui. Namun penyebab paling mungkin adalah karena beberapa jenis perangkat mekanis yang memancarkan energi ultrasonik atau gelombang mikro.
Paparan energi frekuensi radio seperti itu melalui senjata biologis yang sangat khusus berpotensi menciptakan gelembung mikro dalam cairan di dalam telinga seseorang. Saat gelembung-gelembung tersebut mengalir melalui darah ke otak, maka akan menyebabkan emboli udara kecil yang akhirnya mengakibatkan kerusakan sel.
Penyebab lain yang mungkin adalah karena penetrasi langsung gelombang frekuensi radio ke dalam tengkorak, yang mengganggu aktivitas listrik dan kimia di otak dan menghubungkan kembali jalur saraf tertentu. Hal inilah yang kemudian menyebabkan gejala sisa yang bertahan lama.
Meskipun sindrom Havana melemahkan, penyakit ini tidak fatal. Hingga kini, belum ada laporan yang menyebutkan penderitanya meninggal dunia.