Bisnis.com, JAKARTA – Pada 21 April adalah Hari Kartini. Perayaan ini hadir untuk memperingati jasa-jasa R.A Kartini saat memperjuangkan wanita Indonesia kala itu.
Kartini mendapatkan inspirasi memperjuangkan hak-hak wanita dari buku NY. C. Goekoop yang menceritakan perjuangan dari sosok Hylda van Suylenderb membela hak-hak wanita di Negeri Belanda.
Lalu, Kartini mulai mengirim surat kepada temannya Rosa Abendanon dan Estelle Zeehandelaar tentang kondisi yang memprihatinkan wanita di Indonesia.
Hingga akhirnya kumpulan surat yang ditulis kartini dibukukan oleh sahabatnya Abendanon dan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Salah satu isi surat dalam buku itu adalah saat Kartini menginginkan untuk perempuan Indonesia dapat mempelajari banyak bahasa, karena menurutnya dengan mempelajari banyak bahasa agar paham akan buah pikiran dari penulis buku yang berbahasa asing lainnya.
Surat tersebut Kartini berikan kepada temannya Estelle Zehandeelar pada 1899, berikut isi surat tersebut :
“Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, Sayang!-adat sekali-kali tiada mengizinkan kamu anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak-kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis bangsa asing itu.”
Dalam surat lain, Kartini menceritakan bagaimana perempuan Indonesia agar pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita dapat setara dengan pendidikan laki-laki. Surat tersebut ia kirim pada Oktober 1902 untuk Prof. Anton dan Nyonya.
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Saat Kartini berdiskusi dengan ayahnya seorang Bupati Sosroningrat untuk melanjutkan pendidikannya, dia ceritakan hal tersebut melalui surat kepada Nyonya Ovink Soer, berikut ini :
“Apabila sekarang kami tidak ke negeri Belanda, bolehkan saya ke Betawi untuk belajar jadi dokter? Jangan lupa, kamu orang Jawa, sekarang belum mungkin. 20 tahun mendatang keadaan akan lain, tetapi sekarang belum bisa. Lalu saya bertanya, bolehkah saya jadi guru? Ayah berkata itu bagus, itu baik sekali! Itu boleh kamu kerjakan!"
Tiga isi surat diatas merupakan hanya sebagian kecil dari banyaknya surat yang Kartini kirimkan untuk memperjuangkan hak-hak dan emansipasi perempuan Indonesia.
Sungguh perjuangan perempuan Indonesia kala itu sangat berat sekali dan sekarang dengan perbedaan zaman pada masa Kartini, tentu saja perempuan Indonesia juga bisa berjuang layaknya Kartini melalui memperjuangkan mimpi-mimpinya dan menjadi Kartini pada masa kini.