Bisnis.com, SEMARANG - Beberapa kota/kabupaten di Jawa Tengah sudah barang pasti jadi tempat transit para pelancong yang menempuh perjalanan darat dari Ibu Kota, menuju arah timur Pulau Jawa.
Terutama Kota Semarang, biasanya sudah seperti patokan 'separuh jalan', baik bagi mereka yang suka touring ke arah Bali atau kota-kota lain di Jawa Timur, bahkan untuk mereka yang hanya berencana menuju kawasan Solo Raya atau Yogyakarta.
Pasalnya, sesampainya memasuki kawasan Ibu Kota Jawa Tengah itu, perut kerap mulai keroncongan. Jarak sekitar 440 km dan waktu tempuh sekitar 5 jam dari Jakarta, membuat Semarang begitu pas sebagai tempat menginjakkan kaki sejenak.
Tak terkecuali bagi Tim Jelajah Electric Vehicle (EV) 2023 Bisnis Indonesia yang menempuh perjalanan malam hari dari Jakarta menuju Surabaya, untuk menguji kekuatan mobil listrik dalam perjalanan antarkota, sekaligus mencoba memotret berbagai dinamika pengembangan ekosistem EV di Indonesia.
Dalam perjalanan ke Kota Lumpia, Tim Jelajah EV sebelumnya memutuskan untuk mengisi baterai di salah satu rest area tol Trans Jawa sekitar Cirebon, Jawa Barat, sembari beristirahat sejenak jelang dini hari.
Alhasil, Tim Jelajah EV baru sampai di Semarang pada pagi hari. Sarapan soto ayam pun langsung jadi top of mind, karena mayoritas anggota Tim Jelajah EV berasal dari Jawa yang notabene punya budaya makan soto ayam di pagi hari.
Sekadar info, mayoritas Orang Jawa biasanya memiliki budaya memakan soto ayam pagi-pagi, sebab karakter sotonya yang ringan, memiliki kuah cenderung bening, dan tersaji di mangkok yang kecil.
Beda dengan Soto Betawi yang bersantan, berisi daging, serta memiliki nuansa rempah yang lebih kuat, sehingga makanan ini lebih pas dinikmati mulai siang sampai malam hari, dalam rangka mencari kenyang.
Khusus soto ayam khas Semarang, terutama memiliki karakter kuah paling bening dan paling polos dari bermacam soto lainnya di Indonesia. Ciri khas lainnya, terdapat pada lauk topping wajib, seperti sate ayam suwir, sate kerang, tempe goreng, tahu goreng, perkedel, atau telur puyuh.
Alhasil, perpaduan nuansa segar dan gurih itu lah yang membuat Soto Semarang dirasa pas sebagai makanan pembuka selepas perjalanan jauh, apalagi kalau datang ke kota ini ketika masih pagi.
Dijamin, baik orang Jawa memang klangenan dengan soto ayam bening buat sarapan, maupun mereka yang belum terlalu lekat dengan budaya makan soto pagi-pagi, semuanya akan tetap kompak memilih soto apabila berencana ambil sarapan di Semarang.
Kami pun memilih mengunjungi soto ayam Pak Darno di kawasan MH Thamrin, Semarang. Warung yang telah berumur lebih dari 43 tahun ini merupakan salah satu yang legendaris karena pemiliknya memutuskan tetap tidak membuka cabang di mana pun.
"Kalau makan soto di Semarang itu rasanya seger bener. Serba pas. Mungkin kombinasi dari lapar dan butuh yang segar-segar sehabis perjalanan jauh," ujar Medi, salah satu anggota Tim Jelajah asal Jakarta, yang sebelumnya tidak terlalu akrab dengan budaya 'nyoto' buat sarapan.
Membudayakan Soto
Berbicara masalah budaya, soto sendiri sebenarnya merupakan makanan yang lekat dengan hasil dari akulturasi budaya. Soto aslinya panganan yang dibawa pendatang China bernama Caudo, dan Semarang merupakan kawasan sentral penyebaran makanan ini di Nusantara.
Pada buku bertajuk 'Nusa Jawa: Silang Budaya' besutan peneliti asal Prancis, Dennys Lombard, soto memang pertama kali mendapatkan popularitas di Semarang, sebelum akhirnya turut dibawa, diadopsi, dan dimodifikasi oleh masyarakat dari berbagai daerah lain di Indonesia.
Ini menjadi alasan kenapa Soto Semarang cenderung polos, bahkan masih mempertahankan ciri khas mangkok porselen mini dengan sendok bebek, alias masih sangat lekat dengan peralatan makan asal negeri Tirai Bambu.
Berdasarkan kajian antropologi umum, suatu makanan menyebar beriringan dengan penyebaran manusia, sekaligus bagaimana penerimaan selera mereka di tempat masing-masing.
Nah, terkhusus soto, dipercaya bahwa alasan kenapa sekarang jenis soto di Indonesia begitu beragam, dengan berbagai nama dan variasi, pun karena zaman dulu banyak orang datang ke Semarang.
Sebagai kota pelabuhan dan dagang, Semarang tentu ramai dikunjungi orang. Soto yang waktu itu identik sebagai makanan kalangan akar rumput yang mencolok karena dibawa dengan dipikul.
Cepat atau lambat, akan ada satu-dua orang yang telah menyesap soto itu kemudian mencoba membuat atau menjual sendiri soto ke daerah lain, dengan cita rasa yang lebih pas dengan tempat itu.
Namun, bukan berarti Soto Semarang menjadi yang paling asli karena tanpa modifikasi. Contoh, ciri khas daging ayam suwir dari soto ini dipercaya sebagai kondisi masyarakat kala itu yang mayoritasnya telah menganut agama Islam, tak makan babi, serta masih cenderung menghormati sapi sehingga kurang suka makan soto daging.
Oleh karenanya, boleh dibilang melestarikan budaya makan soto di Semarang sama saja dengan mengingat lagi fenomena keberhasilan gastrodiplomasi dari warga China, sekaligus keberhasilan upaya akulturasi budaya yang masif di beberapa wilayah Indonesia.
Selain itu, percaya atau tidak, mampir ke Semarang di tengah-tengah perjalanan pun sudah tertanam secara natural dan instingtif bagi kita, karena para leluhur sejak dulu pun sudah mafhum melakukannya selama pergi berdagang.