Bisnis.com, JAKARTA -- WHO sudah menetapkan anti-microbial resistance atau resisten antibiotik sebagai salah satu isu dalam masalah ketahanan kesehatan global.
Penyakit ini pada umumnya tak terdeteksi sehingga bisa diam-diam menjadi pandemi dan menyebabkan banyak kematian karena penyakit tak bisa diobati.
Ketua Departemen Hubungan Lembaga Pemerintah PB II & Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik Infeksi, DR. Dr. Soroy Lardo, mengatakan resistensi atibiotik tak bisa dideteksi.
"Itu kembali lagi, terlepas dari kepedulian kita ya. Jadi kepedulian terhadap resistansi antibiotik sebenarnya sudah lama. Tetapi kondisi-kondisi terkait dengan upaya untuk secara berlanjut melakukan edukasi ke masyarakat ini yang kurang konsisten," ujarnya dalam media briefing, Kamis (28/11/2024).
Di Indonesia, dan masyarakat dunia kebanyakan baru akan bertindak ketika ada kasus. Padahal resistansi antibiotik dapat dikatakan sebagai "silent pandemic", yang bergerak secara gradual, yang jika tidak diintervensi secara proaktif bisa menyebabkn peningkatan kasus di masyarakat.
"Karena itu langkah yang bisa kita lakukan untuk membangun kemandirian masyarakat, mendeteksi suatu resistansi antibiotik ya, kita harus membangun suatu posyandu dan puskesmas itu sebagai garda terdepan, dan kader-kader yang ada atau relawan kesehatan di suatu kampung misalnya, dia harus kita bekali tentang pengetahuan penyakit-penyakit infeksi bakteri yang harus dikenali secara awal, dan mana yang bisa menjadi risiko terjadi resistansi antibiotik," terangnya.
Lebih lanjut, Dr. Soroy mengatakan, jika posyandu sudah teredukasi, fasilitas kesehatan terdekat itu bisa mendata pasien-pasien yang rentan terjadi infeksi dan akan mempermudah untuk melakukan penanggulangan, bahkan memberikan rujukan jika ada kejadian infeksinya tidak bisa teratasi dengan antibiotik yang diberikan.
"Dan itu akan membuat penanganan yang lebih cepat setelah dievakuasi ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk memeriksa resistansi antibiotik," lanjutnya.