Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan standardisasi kemasan rokok di Indonesia perlu direalisasikan demi kesehatan anak bangsa dan menurunkan angka perokok anak.
Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan Indonesia mengatakan bahwa tren perokok anak di Indonesia semakin meningkat.
Menurut data Kementerian Kesehatan, Indonesia saat ini merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Meski konsumsi rokok global mengalami tren penurunan, di Indonesia justru terjadi peningkatan, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
“Pemerintah berkomitmen untuk menekan angka perokok baru dengan menerapkan kebijakan standarisasi kemasan yang telah terbukti efektif di berbagai negara seperti Australia, Inggris, dan Prancis. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk rokok serta mengurangi beban penyakit akibat konsumsi tembakau,” ujarnya pada media briefing TCSC-IAKMI pada Kamis (20/2/2025).
Prevalensi perokok anak usia 10–18 tahun sebesar 7,2%, sementara pada tahun 2018 angka ini meningkat menjadi 9,1% dan kembali naik pada 2023 menjadi 7,4%. Lebih dari 290.000 meninggal setiap tahunnya karena merokok, lebih dari itu terjadi peningkatan perokok usia muda kurang dari 20 tahun.
Jika tidak dikendalikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar, maka akan mengakibatkan kenaikan prevalensi perokok muda hingga 16%. Kemasan rokok yang menarik dengan warna mencolok dan desain atraktif dinilai sebagai salah satu faktor yang mendorong minat anak-anak dan remaja untuk merokok.
Oleh karena itu, kebijakan standarisasi kemasan yang menghilangkan elemen promosi visual diharapkan dapat mengurangi daya tarik produk tembakau.
Selain itu, penerapan peringatan kesehatan yang lebih jelas dan mencolok diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok.
Namun, upaya ini tidak lepas dari tantangan. Sejumlah pihak, termasuk industri tembakau dan beberapa anggota legislatif, menolak kebijakan ini dengan alasan dampak ekonomi yang ditimbulkan. Industri tembakau berpendapat bahwa kebijakan ini dapat mengurangi penjualan dan berdampak pada tenaga kerja yang bergantung pada sektor tersebut.
Selain itu, penerapan 7 kawasan bebas asap rokok menurut Peraturan Daerah (PERDA) KKU Nomor 7 tahun 2020 juga harus serentak dilakukan. Tujuh kawasan ini meliputi tempat proses belajar mengajar, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum.
"Wajib diterapkan kawasan tanpa rokok yang tidak difasilitasi oleh AC, melainkan tempat terbuka. Selain itu, harus dibiasakan adanya sanksi sosial dalam lingkup 7 tempat tanpa kawasan rokok agar oknum tersebut terkena dampak sanksi sosial," tutur Benget.
Penerapan standardisasi kemasan rokok diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. Dengan regulasi yang lebih ketat, pemerintah berharap dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan melindungi anak bangsa dari ancaman kesehatan akibat rokok. (Mianda Florentina)