Bisnis.com, BANDUNG -- Banyak cara untuk mengingatkan generasi muda, utamanya mahasiswa untuk mewaspadai adanya doktrin ideologi ekstrem yang sangat berbahaya.
Pasalnya, Fenomena Foreign Terrorist Fighter (FTF) yang memanfaatkan propaganda persuasif oleh sejumlah kelompok terorisme, salah satunya ISIS, berhasil merekrut sukarelawan dari berbagai negara.
Indonesia tidak luput dari sasaran penetrasi faham ekstrem ini hingga tidak disadari sudah ada banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang masuk dan tertahan di kamp-kamp di Suriah.
Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan, memang saat ini dibutuhkan kesadaran Bersama bahwa permasalahan WNI yang berangkat ke Suriah tidak bisa dikaitkan dengan satu pokok masalah saja.
Namun, dia melihat bagaimana adanya permasalahan kompleks yang dia temukan dari setiap orang yang memutuskan pergi ke Suriah; Bergabung dengan ISIS.
Lewat film bertajuk 'Road to Resilience' dan bedah buku Anak Negeri di Pusaran Konflik di Suriah, dia berupaya menghadirkan sisi lain dari para WNI eks ISIS hingga mereka dinilai berhak mendapatkan kesempatan kedua.
Pria yang akrab disapa Huda ini mengatakan, mereka pergi ke Suriah, tidak seluruhnya atas dasar ideologi ekstrem. Ada juga yang terpaksa pergi karena anggota keluarga, seperti yang dialami Febri, tokoh utama dalam film 'Road to Resilience'.
"Bahwa jangan ada narasi tunggal. Kan alasan ke sana macam-macam, pemeran utamanya di sini ada perempuan dan anak. Anak adalah korban dalam ideologi orangtuanya," kata Huda ditemui seusai kegiatan.
Dari film dokumenter yang dibuatnya dari 2017 lalu,mengangkat perjalanan seorang remaja Indonesia yang terjebak dalam janji-janji manis ISIS dan akhirnya menemukan jalan kembali ke tanah airnya.
Film ini dimulai dengan pengenalan masalah yang lebih luas, mengangkat isu perang saudara di Suriah dan kebangkitan ISIS yang menarik ribuan orang dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Ketika Febri dan rombongannya akhirnya berhasil kembali ke Indonesia, mereka menghadapi kenyataan pahit berupa penolakan dan stigma dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai pengkhianat.
Selama satu bulan, mereka menjalani berbagai pelatihan dan interogasi dari BNPT dan Densus 88.
Meskipun begitu, Febri dan keluarganya tidak menyerah. Mereka memulai hidup baru di Depok, Jawa Barat, berusaha menata kembali kehidupan mereka dari awal.
Febri menuturkan, kepergiannya ke Suriah bukanlah tanpa alasan. Pergulatan hatinya membawa Febri akhirnya pergi menemui ibunya di negara berkonflik itu.
"Waktu itu, kondisinya di Indonesia gak ada siapa-siapa. Karena ibu ikut sama kakak ke Suriah," ucap Febri.
Karena ingin berbakti kepada orangtua, Febri ingin lebih dekat dengan ibunya. Dia pun terbang ke Suriah dengan segala ancaman yang diterimanya.
"Karena saya merasa durhaka sama ibu, akhirnya mau nyusulin ke Suriah. Ibu segalanya, dia wanita hebat," tuturnya.
Setibanya di Indonesia, Febri dan ibunya mulai menata hidup. Selama setahun keduanya mengisolasi diri dan tidak berkomunikasi dengan keluarga besar.
Ketakutannya akan stigma buruk dari keluarga, membuat ibu dan anak itu berjuang sendirian.
Produser Film Road to Resilience, Ani Ema Susanti mengaku, butuh waktu 7 tahun untuk tim memproduksi film dokumenter ini.
Dari kacamata mantan pekerja migran, Ani cukup terkejut saat mengetahui kenekatan Febri pergi ke Suriah.
"Kami mendokumentasikan repatriasi Febri dan keluarga, bagaimana cara mereka bisa pulang dari camp di Suriah," ujar Ani.
Pakar Komunikasi Unpad Ari Agung Prastowo mengatakan, perlu komunikasi yang baik dalam menyampaikan edukasi kepada masyarakat luas. Terlebih, terorisme menjadi isu sensitif di Indonesia.
"Film ini tepat, pesannya tersampaikan. Resiliensi komunikasi, menghadapi tekanan komunikasi yang ada," ucapnya.
Menurut Ari, dalam film terjadi kegagalan komunikasi pada Febri yang tidak mampu menyampaikan alasannya pergi ke Suriah.
"Ini terjadi kegagalan komunikasi, berangkat ke Suriah bukan karena permasalahan ideologi. Meyakinkan bahwa mereka pergi bukan semata-mata ideologi, tetapi pergi karena tanggungjawab [kepada keluarga]," ungkap dosen di Fikom Unpad itu.
Sementara itu, Kasubdit Kerjasama Regional BNPT RI Yaenurendra Hasmoro Aryo Putro menambahkan, pemerintah turut melakukan pemantauan terhadap WNI yang dipulangkan dari Suriah.
Pemantauan ini untuk memastikan jika WNI kembali ke masyarakat dengan paham ideologi yang sama.
Ia menuturkan, sampai hari ini masih ada sekitar 400-an WNI di Suriah yang belum kembali ke Indonesia. Proses pemulangan yang sulit, sementara kondisi di negara berkonflik itu kian memprihatinkan.
"Sejak pergantian leadership upaya pemulangan di hold, jadi kondisi mereka terus terang memang kurang layak secara kemanusiaan," ujarnya.
Rendra menuturkan, pemerintah berkewajiban menjaga dan memastikan kehidupan yang baik untuk warga negaranya, termasuk di Suriah.
Dia pun mengakui, jika situasi di sana jauh dari kata aman. Pihaknya terus mengupayakan supaya WNI di Suriah bisa pulang ke Indonesia.
"Kita ada upaya untuk melaksanakan kewajiban mereka, memulangkan mereka. Bukan upaya seluruh pihak karena masih ada stigma," ungkapnya.