Bisnis.com, JAKARTA - Ragam penganan khas negara lain ramai menyerbu Indonesia. Maka tak heran jika makanan seperti Tom Yam, Mie Ramen, Sashimi, hingga Spaghetti, lebih akrab di kalangan masyarakat urban.
Namun, tidak banyak generasi muda yang mengenal penganan lokal. Salak Condet misalnya, bisa digunakan sebagai campuran sayur asem Betawi. Buah dengan rasa asam, sepat, dan manis ini, bukan dikonsumsi sebagaimana menyantap buah segar, seperti yang jamak diketahui selama ini.
Pengalaman ini diperoleh Bibong Widyarti, petani organik asal Ciawi, Bogor, ketika belajar tentang pertanian dengan komunitas Slow Food. Kini, pemilik Rumah Organik itu menjadi Ketua Komunitas Slow Food Jabodetabek. Di Indonesia, komunitas Slow Food tersebar di Jakarta, Bali, Yogyakarta, dan Jabodetabek.
Gerakan Slow Food merupakan bentuk perlawanan dari globalisasi fast food. Gerakan yang kini beranggotakan 160 negara itu, digalang oleh jurnalis dan pemerhati pola hidup sehat dari Italia, Carlo Petrini.
Slow Food mengajak kita kembali pada ritme makanan nan alami, resep tradisional, dan menapaki potensi bahan makanan lokal di tiap wilayah yang berlimpah ruah, tetapi cenderung tak lagi dilirik. Padahal, makanan lokal tradisional justru mengandung gizi yang tak kalah dengan makanan modern.
Slow Food mengusung nilai Good, Clean, and Fair. Nilai ini misalnya melihat bagaimana suatu produk baik untuk dikonsumsi, hingga tidak merusak lingkungan dalam proses produksinya.
Melalui Komunitas Slow Food Jabodetabek, Bibong mengajak masyarakat kembali pada pola penanaman dan makanan tradisional. Menurutnya, dengan cara ini maka akan dapat mendorong ekonomi petani lokal.
Dalam kehidupan sehari-hari, Bibong mencontohkan, gerakan Slow Food dapat dipraktekan dengan mengkonsumsi buah dan sayuran petani lokal maupun pola penanaman dengan kearifan lokal.
"Kita memiliki banyak pengetahuan tradisional. Misalnya, campuran parutan bawang putih dan air, dapat mengusir hama pada tanaman,” jelasnya.
Menggali potensi lokal juga dilakukan Wandi S Assayid dari komunitas pembudi daya madu lebah di Kampung Cingagoler, Kabupaten Lebak, Banten. Sejak 2007, dia aktif mengenalkan Madu Cingagoler ke beberapa wilayah, mulai dari Banten, Jakarta, hingga Bogor. Sebelumnya, Madu Cingagoler tidak banyak dikenal karena masyarakat setempat tak memanfaatkan potensi alam. Belum lagi, lokasi Kampung Cingagoler yang memang terpencil.
Kegigihan Wandi menggali potensi lokal ini berbuah manis. Dia terpilih menjadi Presidia setelah masuk dalam daftar 45 Ark of Taste (makanan yang hampir punah) yang diusulkan Slow Food Indonesia. Madu Cingagoler juga turut dipamerkan dalam pertemuan Salone del Gustro Terra Madre di Italia, September kemarin.
Produksi Madu Cingagoler memberi dampak positif ke masyarakat sekitar. Selain meningkatkan taraf ekonomi, Wandi dan kawan-kawannya dapat membangun perpustakaan umum di kampung tersebut.
Di Indonesia, hanya ada tiga komunitas yang masuk dalam daftar Presidia yakni Tengkawang Fat dari Kalimantan Barat, Pisang dari Yogyakarta, dan Madu Cingagoler dari Banten. Mereka mendapat pendampingan dari Slow Food untuk mengembalikan kejayaan makanan lokal yang hampir punah.