Orang miskin lebih sulit meminta waktu dokter di Kanada, walaupun asuransi kesehatan di negara tersebut membayar dokter dengan jumlah yang sama terlepas dari golongan mana pasien yang mereka terima.
Para peneliti yang menelepon klinik kesehatan dengan berpura-pura menjadi karyawan bank, 80% berpeluang mendapatkan waktu bertemu dokter daripada saat berpura-pura menjadi pengangguran.
“Kami berharap dapat menemukan hasil dari penelitian ini, jika memang ada perlakuan istimewa,” ujar Stephen Hwang, peneliti yang bekerja di rumah sakit St. Michael dan Universitas Toronto.
“Sebagai seorang dokter yang menyediakan perawatan kesehatan untuk masyarakat yang kurang mampu dan terpinggirkan, mereka tidak jarang memberitahu saya bahwa mereka merasa telah diperlakukan dengan buruk oleh penyedia layanan kesehatan hanya karena mereka miskin,” ujarnya kepada Reuters Health.
Hwang, yang timnya mempublikasikan hasil penelitian mereka di Canadia Medical Association Journal, berharap jika kesenjangan tersebut lebih dikarenakan oleh bias sadar dokter dan resepsionis daripada kebijakan eksplisit untuk memilih pasien yang kaya.
Anggota tim tersebut menghubungi 375 dokter keluarga dan dokter umum di Toronto dengan berpura-pura sebagai pasien yang membutuhkan perawatan medis. Sebagian dari mereka berpura-pura menjadi pegawai bank yang baru saja pindah dan sebagian lagi menjadi seorang pengangguran yang menerima tunjangan dari Negara.
Para peneliti yang berpura-pura menjadi pegawai bank hampir 23% ditawari janji untuk bertemu dengan dokter. Pada kesempatan lain, resepsionis memasukkan dalam daftar tunggu atau mengatakan jika dokter tidak sedang melayani pasien.
Sebagai perbandingan, penelepon yang berpura-pura sebagai pengangguran hanya 14% saja yang ditawari janji untuk bertemu dengan dokter.
Resepsionis lebih mungkin menawarkan janji bertemu kepada penelepon yang berpura-pura menjadi penderita diabetes atau keluhan nyeri pinggang daripada pasien tanpa kondisi yang kronis. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien yang membutuhkan perawatan diprioritaskan lebih dulu,” tulis Hwang dan rekannya.
Penelitian sebelumnya menunjukkan diskriminasi pasien berdasarkan penghasilan terjadi lebih banyak di Amerika Serikat, dimana dokter cenderung meminta ganti lebih banyak dalam mengobati orang dengan asuransi swasta daripada dengan asuransi sosial.
“Ketika orang tidak memiliki asuransi kesehatan atau asuransi yang dimiliki membayar kurang dari jumlah tagihan, mereka lebih mungkin ditolak oleh dokter,” ujar Hwang, “Namun hal tersebut tidak mengherankan.”
“Fakta bahwa mereka menemukan hasil dari penelitian yang dilakukan terhadap asuransi kesehatan sangat menarik,” ujar Karin Rhodes, yang mempelajari akses kesehatan di Perelman School of Medicnine, Universitas Pennsylvania, namun dia tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
“Semua yang saya lihat adalah semua digerakkan oleh ekonomi,” ujar dirinya kepada Reuter Health, mengacu pada sistem di AS dimana penggantian tarif dokter akan dipengaruhi oleh pasien yang mereka terima.
Rhodes menambahkan langkah berikutnya yang harus diteliti adalah mengidentifikasi alasan dibalik penemuan tersebut, meskipun Hwang mengatakan bahwa mungkin saja karena sifat manusia atau bias sadar tenaga medis yang harus dilawan.
“Dalam dunia kesehatan, saya merasa yakin bahwa kita harus memberikan perawatan berdasarkan kebutuhan pasien, bukan kantong mereka,” ujarnya. (t08/msw)