BISNIS.COM, JAKARTA--Kata “rob” sangat akrab bagi penduduk yang tinggal di pesisir. Suatu peristiwa air pasang setiap bulan purnama.
Bagi warga Semarang hal ini sudah tak asing lagi. Lalu apa hubungannya dengan seni rupa? Sejumlah perupa asal Semarang dan yang tinggal di sekitar Semarang seperti Magelang, Pati, Batang, Pekalongan, Surakarta dan Salatiga menjadikan fakta empiris ini sebagai tema pameran seni Semarang Art Map “ROB” yang berlangsung di Galeri nasional Indonesia, Jakarta sampai 8 Juni 2013.
Para perupa yang ambil bagian pada pameran ini antara lain Kokoh Nugroho, Khoerul B., Tribakdo, Damtoz Andreas, Putut Widodo, Aryo Sunaryo, Nahyu, dan Suitbertus Sarwoko.
Sementara itu kurator pameran ini adalah Djuli Djatiprambudi dan Kuss Indarto. “Dengan tema ini para perupa sangat dimungkinkan memasuki dunia rob dengan pendekatan mimesis (meniru) alam, pendekatan imajinatif, dan pendekatan realistik,” kata Djuli Djatiprambudi.
Pameran ini, secara tematik, berangkat dari keprihatinan atas fakta sosial yang terjadi di lingkungan sebagian para seniman, terutama mereka yang tinggal di Semarang bagian utara atau pantai.
Para seniman ini adalah bagian dari masyarakat, sebagai homo socius atau makhluk social yang berkomentar, beropini, protes, mengeluh, memberi informasi tentang banjir “rob” dengan medium ekspresi karya seni rupa.
Karya-karya para seniman Semarang dan sekitarnya pada pameran kali ini memberi gambaran yang berbeda untuk melepaskan asumsi atau stigma bahwa para seniman Semarang bukan lagi pelukis mangga-pisang-jambu sebagai subyek lukisannya.
Dalam pameran “Rob” ini mereka mencoba mengeksplorasi medium dengan tema yang relatif focus, yakni tentang banjir ‘rob’ dengan segala dampak social-kemasyarakatan yang mengikutinya. Para perupa Semarang, secara kreatif, telah sedikit mampu melepaskan diri dari belenggu stigma mangga-pisang-jambu.
“Motor kreatif dari pameran ‘rob’ kali ini, kalau melihat tampilan karya secara keseluruhan, adalah para perupa muda yang mencoba melakukan banyak eksperimentasi medium,” demikian Kuss Indarto menjelaskan.
Karya-karya fotografi, video art, comical art painting, seni instalasi, dan beberapa bentuk medium ekspresi lain seperti dimuntahkan oleh anak-anak muda ini dengan cara ungkap yang menarik.
Ini memotong garis konvensi yang konservatif yang dilakukan oleh para seniornya selama ini di seputar Semarang. Latar belakang pendidikan mereka yang dari Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang banyak memberi pengaruh, meski sebenarnya ini bagian dari hasil mereka membangun jejaring kerja dengan komunitas seni serupa di kota lain seperti dengan para seniman muda Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan lainnya.
Kuss Indarto mengatakan bahwa karya-karya para seniman ini layak menjadi materi bagi antropologi visual untuk kemudian menjadi bahan kajian dan penelitian (antroplogi visual) lebih lanjut.
Karya-karya yang tersaji dalam pameran ini merupakan hasil ekspresi social yang layak untuk juga dijadikan bahan refleksi bagi para pemimpin dan pengelola kota untuk terus membenahi kota dengan baik dan tentu menjadikan warganya (termasuk seniman) sebagai subyek untuk didengar dan diserap masukannya.