Bisnis.com, JAKARTA - Balai Budaja Jakarta riwayatmu kini. Sebuah frase yang kiranya tepat untuk menggambarkan kondisi bangunan tua bersejarah yang berdiri di salah satu sudut Kota Jakarta, di mana kondisinya saat ini sungguh memprihatinkan.
Bangunan tua sisa-sisa zaman kolonial yang turut menjadi saksi bisu lahirnya Manifesto Kebudayaan era Presiden RI Ir Soekarno tersebut, nampaknya dalam beberapa waktu ke depan tinggal menunggu saat kehancurannya saja, apabila tidak segera direvitalisasi.
Hilang secara fisik bangunan beserta kenangan sejarah yang terbawa di dalamnya.
Awalnya, saya tidak mengetahui persis seperti apakah kondisi bangunan Balai Budaja Jakarta. Hingga suatu ketika, belum lama ini, saya mendapatkan undangan peliputan penyelenggaraan pameran lukisan bersama oleh Himpunan Pelukis Jakarta (Hipta), di Balai Budaja Jakarta, Jalan Gereja Theresia 47 Menteng.
Kala itu, pertama yang terbersit dalam benak saya tentang lokasi pameran lukisan bertajuk 'JongJAKart' tersebut adalah sebuah gedung layak dan representatif untuk gelaran kesenian, karena melihat alamatnya terletak di Menteng, sebuah kawasan elit di Jakarta.
Namun, alangkah terkejutnya saya ketika mendatangi lokasi itu sehari sebelum pembukaan acara, Kamis (24/10). Saya belum percaya bahwa gedung yang akan digunakan untuk pameran pada 25 Oktober hingga 10 November 2013 itu, ternyata kondisinya sangat memprihatinkan.
Sekilas, bangunan tersebut terlihat sangat sederhana di tengah kepungan sejumlah bangunan lain berarsitektur modern dan mewah di sekelilingnya.
Saya pun memasuki bangunan yang cenderung berbentuk kotak berwarna putih kusam, dengan plakat nama masih ejaan lama, Balai Budaja Jakarta.
Sebelum masuk, dari luar memang sudah terlihat bahwa kondisi kontur bangunannya lebih rendah dibandingkan jalan raya di depannya.
Keheranan saya semakin menjadi ketika saya mulai memasukinya dan mendapati langit-langit (eternit) bangunan itu sudah bolong-bolong dan beberapa di antaranya terlihat hampir jatuh.
Dengan penasaran, saya pun memberanikan bertanya kepada sejumlah orang seniman, panitia acara yang sedang melakukan persiapan.
“Memang beginilah kondisi bangunannnya, sejak pertama kali dibangun sekitar tahun 50-an sampai sekarang baru satu kali mengalami renovasi, yakni peninggian dan penggantian lantai ini,” tutur Syahnagra.
Dia melanjutkan, meskipun saat ini kondisinya juga masih lebih rendah dibandingkan jalan raya, sehingga ketika terjadi hujan lebat dipastikan air akan masuk ke dalam dan menyebabkan banjir.
Ternyata, selain eternit yang bolong dan lantai yang sering terendam air apabila hujan, dalam perbincangan itu saya dapati masih banyak sisi memprihatinkan lainnya, seperti suasana yang gerah dan panas karena tidak adanya pendingin ruangan, air ledeng yang diputus oleh perusahaan air minum daerah setempat sehingga terpaksa menggunakan air tanah seadanya, tembok bangunan yang mulai rusak dan lainnya.
“Padahal, gedung ini banyak memiliki kenangan luar biasa bagi perjalanan kebudayaan di tanah air. Manifesto Kebudayaan lahir di sini. Gedung ini merupakan hibah dari pemerintahan Ir Soekarno guna memfasilitasi kegiatan kesenian dan kebudayaan sekitar tahun 1950-an,” tutur Sri Warso Wahono.
Saat itu, lanjutnya banyak lembaga-lembaga kebudayaan yang berafiliasi ke dalam partai diantaranya ada Lesbumi, LKN, Lekra, yang kemudian di wadahi dalam satu wadah yang disebut Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
“Secara arsitektural dan dari segi kegunaan, Balai Budaja Jakarta sepertinya banyak diperuntukkan bagi pameran seni rupa / seni lukis, walaupun juga untuk kegiatan cabang kesenian yang lain, seperti pada 1971 digunakan Bengkel Teater WS. Rendra mementaskan BIP–BOP untuk pertama kalinya sebelum dipentaskan di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM),” tutur Aisul Yanto, Mantan Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta.
Ditempat ini pula banyak digelar pameran tunggal yang bermutu dan bermuatan budaya dari para pelukis yang mewakili jaman masing-masing, seperti Sudjojono, Hendra Gunawan, Afandi, Zaini, Rusli, Popo Iskandar, OE, Nasjah Djamin, Nashar, Abas Alibasyah, hingga Sri Warso Wahono, Hardi, Syahnagra Ismaill, Aisul Yanto, dll.
“Ibarat kata, gedung inilah kawah candradimuka para seniman di Jakarta,u atau bahkan di Indonesia. Namun, sungguh ironis seiring perjalanan waktu, gedung ini mulai ditinggalkan begitu saja,” tuturnya.
OASE BERBEDA
Dengan berangkat dari rasa memiliki tersebut, maka pihaknya bersama sejumlah seniman lain yang tergabung dalam Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA) menggelar pameran lukisan bersama.
Pagelaran tersebut dimaksudkan untuk menggugah berbagai pihak, mulai dari para seniman, pemerintah daerah maupun pusat, dan masyarakat luas, bahwa di salah satu sudut kota di Jakarta terdapat gedung yang sangat bersejarah dan perlu perhatian bersama.
“Ada sekitar 40 perupa yang turut berpartisipasi dalam JongJAKart kali ini, dengan semua dana operasionalnya hasil patungan. Pagelaran ini diharapkan jadi momentum silaturahmi duduk bersama antar seniman, dan sejumlah pihak terkait agar ada perhatian terhadap Balai Budaja Jakarta, hingga tetap menjadi Oase berbeda selain TIM,” ujarnya.
Lalu, situasi seperti sekarang ini akankah terus dibiarkan terjadi terhadap gedung yang memiliki sejarah panjang tersebut?
Akhirnya kembali berpulang kepada para pemangku kepentingan, para seniman, cerdik cendikia, lembaga-lembaga yang ada (Pengurus Balai Budaja Jakarta, BMKN, HIPTA, Pemerintah Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI), dan lainnya, serta Pemerintah DKI Jakarta yang berperan sebagai fasilitator untuk mengambil langkah strategis duduk bersama mencari solusi dengan paradigma baru yang tepat bagi berkelanjutannya