Bisnis.com, JAKARTA - Koper besi itu tergantung miring. Isinya sejumlah mobil mainan berjejer rapi dan sebuah layar monitor menghadap mobil-mobil tersebut.
Di bagian luar koper terdapat tempelan beberapa sticker. Satu koper lain yang bentuknya lebih kecil berisi video compact disc (VCD) sebagai sumber suara yang teronggok di sudut lantai.
Samar-samar, dalam koper miring mengalun lagu All You Need is Love dan Lucy in the Sky with Diamonds yang dipopulerkan kelompok musik The Beatles. Suara lagu seperti berasal dari sebuah stasiun radio. Saya, yang berada dekat dengan koper tersebut seolah mendengarkan siaran radio persis dalam sebuah kendaraan.
Adalah Hardiman Radjab yang menciptakan sebuah instalasi seni dengan medium utama koper. Dia menjadikan dua koper tua sebagai miniatur suasana keseharian manusia ketika dalam perjalanan. Dia memberikan judul instalasi tersebut Remember Drive Inn dalam mix media yang dibuat pada 2013.
Tampaknya, Hardiman ingin mengajak audience untuk berimajinasi pada ruang lain. Ruang yang seolah terlupakan ketika kita menikmati perjalanan ke suatu tempat. Ruang yang membuat individu begitu akrab antara musik, perjalanan dan arah yang dituju. Maka, menjadi berkaitan jika dalam instalasi ini, Hardiman menyuguhkan suasana liyan pada Pameran Patung dan Instalasi yang digelar di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 1-15 November 2013.
Pameran ini dihelat untuk kedua kalinya oleh Asosiasi Pematung Indonesia (API). Kali ini, pameran mengambil tema Trax 13: Sikap, Konsistensi, Tantangan. Sebelumnya, API mengelar pameran serupa dengan tema Jejak di tempat yang sama pada 2012.
Istilah Trax sendiri diambil dari kosakata Track berarti Jalur yang masih berkaitan dengan tema pameran yang digelar pada 2012, Jejak. Sementara kata 13 lebih menginformasikan waktu pameran yang digelar pada 2013. Pameran ini menghadirkan 39 seniman yang masing-masing menyumbangkan satu karya. Sementara sebuah karya instalasi bersama ditampilkan di halaman parkir TIM.
Sekedar catatan, pameran ini diikuti oleh anggota API berasal dari Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Masing-masing seniman memiliki karakter beragam dari karya yang dihasilkan. Tema yang diangkat tak jauh dari kehidupan sehari-hari. Mereka berkarya berpatokan dari permasalahan sosial, agama hingga politik.
Satu karya dari Beby Charles berjudul Wi & Wikojo (fiberglass, electro plating, 65 x 38 x 38 cm, 2013). Patung ini menampilkan sosok wajah Gubernur Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi dengan bentuk kepala lebih besar daripada badannya. Tangan kanan Jokowi, tengah memegang keong bermoncong simbol Monumen Nasional (Monas), sementara tangan kirinya mengacungkan simbol metal. Dari patung ini bisa ditafsirkan jika Jokowi merupakan sosok yang fenomenal tersendiri bagi warga Jakarta. Di satu sisi, dia mengemban tanggung jawab terhadap permasalahan Jakarta. Di sisi lain, dia kerap menyempatkan diri untuk menikmati hobi pribadinya, menyaksikan konser musik.
Karya lain dari Budi L Tobing berjudul RengkuhanNya (polyester resin, coloring effect bronze, 86 x 65 x 65 cm, 2013) berbicara tentang hubungan sosial manusia. Sebuah patung seorang ibu tengah memeluk anak menyimbolkan kasih sayang antara hubungan Tuhan dengan hambaNya. “Setiap membuat karya, saya selalu menangkap kejadian sosial yang kemudian divisualkan dalam model imajinasi saya,” kata Budi yang juga ketua API.
Dia menambahkan, digelarnya pameran ini sekaligus menegaskan sikap berkeseniannya para pematung di Indonesia. Melihat kondisi sosial dan politik di negeri carut ini, API mencoba mendengungkan konsistensi pematung untuk terus tetap berkarya. Dia berharap segala tantangan yang terus merasuk dalam proses berkesenian, khususnya di seni patung bisa terpatahkan oleh para seniman patung sendiri. Untuk itu, dalam tema Trax 13, secara filosofis, API memberikan kebebasan bagi para pematung untuk tetap berkarya dalam jalur masing-masing.
Budi memberikan contoh, adanya pameran patung dan instalasi ini merupakan proses kerja pembebasan bagi seniman. Ketika seniman berkarya dengan tema beragam, bukti kontinuitas mereka akan terlihat dan bisa menggairahkan seniman lain untuk terus berkarya.
Patung yang dibuat Agus Widodo berjudul Balada Selompret KPK misalnya, berhasil mengangkat fenomena kekinian tentang kondisi korupsi di Indonesia. Patung terbuat dari fiber 180 x 243 x 122 cm pada 2013 itu memberikan tafsiran tersendiri. Patung tersebut menggambarkan seseorang tengah meniup alat musik selompret. Untuk memberikan kesan kuat, Agus membubuhkan tambahan miniatur beberapa ekor tikus tengah menggigit uang pecahan dolar dan rupiah.
Pemilihan tikus dan uang merupakan simbol korupsi yang tengah melanda negara ini. Tampaknya, Agus sadar betul, dengan karya yang diciptakannya, dia bisa leluasa mengkritik kondisi bangsa yang bobrok ini. Seniman tidak lagi bersuara menggunakan pengeras seperti para demonstran. Seniman hanya perlu merenung dan menciptakan karya dari hasil kegelisahan imajinasi mereka.
Maka tak heran, jika kurator Benny Ronald Tahalele dalam catatannya mengatakan bahwa seniman yang ikut dalam pameran ini secara bebas dan otonom berbicara melalui karya. Seniman juga, katanya bisa bersuara lewat statement karyanya dan tulisan penjelasan tentang proses kreatif setiap individu. “Seniman dan aktualisasi diri, seperti mata uang dengan dua sisi. Eksistensi dan kedaulatan,” paparnya.