Bisnis.com, JAKARTA - Mengetahui buah hati yang menyandang autisme, terkadang menjadi kejutan tersendiri bagi sejumlah keluarga. Sebagian dari mereka, mungkin saja sulit menerima kenyataan itu. Akibatnya, orangtua mengalami tekanan saat membesarkan anak yang mengidap autisme.
Hal tersebut diiyakan oleh Mamah (bukan nama sebenarnya) yang memiliki anak laki-laki pengidap autisme. Sebut saja namanya Beta. Beta terlahir secara prematur pada 1998 dan diketahui menderita autisme sejak lahir.
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir atau pun saat masa balita. Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena merupakan gangguan yang terjadi pada otak, sehingga tidak dapat berfungsi layaknya otak normal dan perkembangannnya terlambat.
“Pada awalnya membesarkan dan mendidik Beta memang bikin stres. Saya juga bekerja dan jarang bisa memisahkan urusan pekerjaan dengan rumah. Jadi, terkadang capek pekerjaan bercampur dengan capek merawat dia, makin bikin stres,” tutur Mamah, beberapa waktu lalu.
Belum lagi, lanjutnya ditambah stigma dari lingkungan mengenai kondisi sang buah hati yang memang berbeda dengan anak pada umumnya.
Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, Mamah akhirnya bisa menerima kenyataan tersebut bahwa bagaimanapun itu adalah karunia Tuhan.
“Saya pun mulai membesarkannya dengan menyelami diri si buah hati sehingga bisa diterima. Selain itu, membiarkan orang mengetahui keadaan yang sebenarnya mengenai kondisi si anak. Tidak perlu ditutup-tutupi,” ujarnya.
Menurutnya membesarkan anak dengan ‘kelebihan’ ini memang harus memerlukan kesabaran yang ekstra. Mamah mengatakan saat anak itu susah diatur, sebaiknya dia dibiarkan saja sendiri namun dipastikan dalam kondisi aman. Setelah tenang, paparnya, barulah sang anak dapat didekati lagi.
Psikolog Oriza Sativa mengatakan untuk membesarkan individu autis berakibat meningkatnya stres dibandingkan dengan membesarkan anak yang mengidap penyakit lainnya.
“Mereka [orang tua], terutama kaum ibu banyak juga bekerja, sehingga banyak beban di sana. Maka tidak jarang banyak pasien saya akhirnya memilih untuk berhenti bekerja dan fokus membesarkan buah hatinya,” tuturnya.
MELIBATKAN LINGKUNGAN
Lalu, apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mengurangi tingkat stres tersebut?
Oriza menyarankan sebaiknya selalu melibatkan orang lain, terutama keluarga besar. Dari mulai nenek atau kakek, tante, hingga perawat yang mengerti dalam merawat anak autis, dapat membantu perkembangan si anak.
“Jangan sendiri, bagikan beban itu. Jangan sampai justru mental jatuh duluan, sehingga akan berpengaruh dalam mendidik dan membesarkan individu autis,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, jangan lupa untuk melibatkan lingkungan, di antaranya adalah teman-teman sebaya. Ini terutama saat sang anak menginjak usia pubertas. “Mereka biasanya jadi lebih genit, godain teman-temannya. Karena secara hormonal, tetap seperti anak normal, hanya perkembangan otaknya saja yang terlambat,” ujarnya.
Oleh karena itu, Oriza mengatakan, di sinilah peranan orang tua untuk menjelaskan kepada lingkungan, tentang kondisi yang sedang dialami anaknya terutama saat memasuki masa pubertas. Hal itu untuk mengantisipasi agar tak ada ketersinggungan dengan orang lain.
“Jelaskan bahwa apa yang dilakukan anak itu hal biasa, karena sedang masa puber, maka mereka [lingkungan] diharapkan dapat menerima dan tidak mengucilkan buah hati dari pergaulan,” ujarnya.