Bisnis.com, SOLO— Batu berharga asal Desa Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, yang terkenal dengan nama latin fire opal menggemparkan jagat batu mulia di Tanah Air.
Barang tambang asal Kota Gaplek tersebut memiliki jenis yang sama dengan batu mulia jenis opal asal Mexico.
Kini, batu mulia itu diburu para kolektor, pedagang, dan penggemarnya sampai menyaingi batu Bacan asal Halmahera. Ketua Paguyuban Batu Permata Pasar Gladak, Abdul Basid, saat ditemui wartawan seusai jumpa pers Festival Permata Nusantara di Hotel Fave Solo, Sabtu (28/2/2015), mengatakan permintaan fire opal asal Wonogiri melebihi permintaan batu Bacan yang sudah booming sebelumnya.
Permintaan fire opal, kata dia, melejit signifikan sejak dua tahun terakhir.
“Hampir semua tamu yang datang ke Pasar Batu Permata Gladak mencari fir eopal. Biasanya saya bisa tidur setiap pukul 13.00 WIB, sekarang dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan saat saya tutup pun tetap diminta buka,” kata Abdul yang juga pemilik Kios Fauzan Permata Gladak.
Harga fire opal pun kompetitif. Abdul menyebut harga fireopal yang semula hanya Rp500.000 per buah meningkat menjadi Rp3 juta per buah. Peredaran uangnya bisa tembus Rp100 miliar per bulan. Abdul menggeluti perdagangan batu mulia sejak 1993. Dia mengetahui berbagai jenis batu mulia di Tanah Air.
“Banyak orang tertarik dengan fire opal karena warnanya lebih bervariasi, ada merah, hijau, biru dan oranye,” kata Abdul.
Fenomena
Pakar Batu Mulia dari Laboratorium Gemologi ACC Jakarta, Agustono Dwi R., mengakui keindahan fireopal asal Wonogiri. Batu bernama latin opal itu, katanya, diklaim hanya milik Mexico.
Agus melihat ada fenomena pergeseran nilai. Batu mulia tidak lagi milik kaum tua tetapi juga digandrungi kaum muda.
“Batu mulia menjadi gaya hidup,” katanya.
Penggemar batu mulia Keraton Surakarta Hadiningrat, K.G.P.H. Puger, menyampaikan bahasa simbol dalam sejarah yang menyebut tercecernya tesbeh (tasbih) Panembahan Senopati. Puger mengatakan tesbeh itu sebenarhnya akronim dari netes kabeh (menetas semua).
“Ungkapan tersebut merupakan cara para leluhur mendeteksi potensi alam. Zaman dulu belum mengetahui teknologi laboratorium seperti sekarang yang bisa mengetahui kandungan bumi. Sekarang, “tesbeh” itu berujud batu mulia di Dlepih, Tirtomoyo itu,” ujarnya.