Sindang Barang/Edi Suwiknyo
Relationship

Penjaga Budaya di Kaki Gunung Salak

Edi Suwiknyo
Jumat, 25 Desember 2015 - 20:45
Bagikan

Bisnis.com, Jakarta - Ukat Sukatma berjalan pelan menuju saungnya di Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (25/12). Ikat kepalanya telah memudar Pakaian yang ia kenakan juga tak lagi berwarna hitam legam. Meski usianya tak lagi muda, namun ia ingat babakan sejarah desa budaya tersebut.

Sembari bersila, Ukat sapaan akrabnya memulai cerita ihwal terbentuknya kampung budaya di kaki Gunung Salak ini. Ia menuturkan, kampung yang kini menjelma sebagai salah satu tempat pelestarian budaya Sunda ini sudah berdiri sejak jaman Kerajaan Galuh di Ciamis.

Awal mulanya, seorang putri dari kerajaan tersebut pergi meninggalkan istana. Bersama dengan keluarganya, Putri Ming, menyusuri tanah Pasundan yang bergunung-gunung.Kepergian putri tersebut untuk meninggalkan keramaian kehidupan istana.

"Sang putri ingin beralih kepada kehidupan yang lebih spiritual, dekat dengan tuhan," ujar pria menjadi Kokolot (tetua adat) di kampung budaya tersebut.

Menurut Ukat, nama Sindang Barang berasal dari proses kepergian dan penyerahan diri sang putri kepada dunia spiritual tersebut. Kalau diartikan ke dalam bahasa Sunda, Sindang berarti meninggalkan, sedangkan Barang berarti keramaian.

"Jadi, Sindang Barang berarti meninggalkan keramaian dan mencari kehidupan yang mendekatkan dengan tuhan," imbuh Ukat.

Sebagai wujud kedekatan masyarakat Sindang Barang kepada tuhannya. Setiap tahun, mereka selalu melakukan upacara Serentaun atau dalam istilah lokalnya ialah upacara Guru Bumi.

Namun seiring pergantian zaman, upacara tersebut perlahan ditinggalkan. Bentuk-bentuk budaya lainnya seperti rumah termasuk upacara Guru Bumi juga mulai dilupakan oleh masyarakat setempat. Berawal dari memudarnya kebudayaan tersebut,Ahmad Mikami "Maki" Sumawijaya bersama masyarakat Sindang Barang merevitalisasi kampung adat mereka.

"Revitalisasi itu dimulai pada tahun 2006. Kami membangun rumah adat dan lumbung padi yang terbuat dari bambu dan ijuk (serabut pohon aren)," tutur pria paruh baya ini.

Pada tahun 2007, seluruh proyek berhasil dibangun. Dari sini, kegiatan untuk menghidupkan kebudayaan masyarakat Desa Adat Sindang Barang dimulai. Berbagai kesenian dihidupkan kembali. Penduduk di sekitar desa budaya juga dilibatkan dalam kehidupan adat di desa tersebut.

"Tetapi memang, letak desa adat sekarang tidak di lokasi semula. Sebab, lokasi aslinya sekarang merupakan daerah padat penduduk. Sehingga kalau mau merevitalisasi, semua rumah permanen harus diubah. Atas dasar itu kami memutuskan membangun kampung adat di lokasi ini," ujarnya.

Mengenai struktur bangunan di kampung tersebut Ukat menambahkan, setidaknya ada tiga bangunan utama. Bangunan tersebut diantaranya imah gede (rumah utama), lumbung Padi, dan imah warga (rumah warga).

Sementara itu, sebagai sebuah desa adat, desa budaya Sindang Barang juga memiliki struktur kepemimpinan adatnya sendiri. Pemimpin tertinggi di desa budaya disebut Pupuhun (pemimpin), Girang Serat sebagai pelayan administrasi, Hulun Jati sebagai mengurus kegiatan agama dan upacara adat, dan Pancer Pengawinan mengurus operasional kegiatan didesa budaya.

"Ya kami melakukan ini demi lestarinya budaya Sunda. Sekaligus mempertahankan ajaran leluhur," ujarnya.

Penulis : Edi Suwiknyo
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro