Bisnis.com, JAKARTA - Tidak banyak orang yang mengetahui tentang bundengan, alat musik tradisional yang berkembang di Wonosobo, Jawa Tengah. Padahal, keberadaannya terhitung tua, yang dibuktikan dengan tulisan di kitab Wreta Sancaya pada abad ke-12.
Kondisi ini mendorong para seniman berkolaborasi dengan pemerintah daerah setempat, menggarap film dokumenter Aura Magis Musik Bundengan, yang dirilis awal Februari 2016.
Kepala Seksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wonosobo Bambang Tri menuturkan, film menjadi media yang tepat untuk mengenalkan kembali bundengan ke generasi muda. Pernah mengalami masa kejayaan di era 1990-an, saat ini bundengan sudah sangat langka keberadaannya.
"Jangan sampai punah. Kami ingin agar generasi muda tahu apa itu bundengan dan bagaimana cara memainkannya," tuturnya, Selasa (1/3/2016).
Bundengan terbuat dari kerangka welat bambu tebal yang dianyam dan bagian luarnya dilapisi dengan slumpring (pelepah batang bambu), kemudian diikat dengan tali ijuk.
Tergolong alat musik petik, irama yang dihasilkan mirip dengan suara bunyi ketukan gending beserta kendangannya. Sebagian mengatakan irama yang dihasilkan dapat mewakili irama seperangkat gamelan.
Sutradara Aura Magis Musik Bundengan Bambang Hengky mengatakan film ini berdasarkan riset yang dilakukan budayawan Agus Wuryanto, yang sekaligus bertindak sebagai penulis naskah.
Film berdurasi 24 menit ini, bercerita tentang grup bundengan yang tersisa di Wonosobo, yang kesulitan melakukan regenerasi. Tidak jauh berbeda, saat ini hanya tersisa Mahrumi (75) sebagai pembuat bundengan atau yang lebih dikenal dengan sebutan koangan.
Tampil dalam film tersebut salah satu pemain musik bundengan yang tersisa, Munir (55) mengiringi dua penari lengger senior di Wonosobo. Munir merupakan adik Barnawi yang telah meninggal pada 2012.
Barnawi merupakan tokoh yang mengenalkan kembali alat musik bundengan pada era 1990-an hingga 2012.
Film dokumenter dapat menjadi alat propaganda, tetapi ini propaganda yang positif, kata sutradara Dariah Lengger Lanang yang merebut tiga penghargaan film.
Selain berperan mengangkat kembali bundengan pada masa itu, Barnawi ikut andil membuat bundengan lebih mudah dan praktis dimainkan.
Penulis Naskah sekaligus peneliti Agus Wuryanto mengatakan, Barnawi mengganti peralatan instrumen musiknya yang semula ijuk sebagai dawainya, menjadi senar-senar. Sehingga, dalam menentukan notasi pada peralatan lebih mudah.
Agus mengatakan riset dilakukan sejak 1990-an hingga Barnawi meninggal pada 2012. Sayang, aksi Barnawi tidak terdokumentasi. Kemudian timbul inisiatif untuk mendokumentasikan bundengan melalui adiknya, Munir. Saat ini generasi termuda dari penerus bundengan yang tersisa hanya seniman Hengky Krisnawan dan anak perempuan Barnawi bernama Sundiyah.
Menurutnya, bundengan bukan alat musik tradisional sembarangan. Selain sebagai sarana hiburan rakyat, bundengan biasa digunakan saat peringatan hari besar, ritual potong rambut gimbal, dan lain lain.
"Ini musik yang khas, ada eksotisme dalam iramanya, alat musik yang dapat mewakili irama seperangkat gamelan. Maka pas untuk mengiringi lengger," katanya.