Bisnis.com, JAKARTA - Kota Cirebon yang terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di provinsi Jawa Barat, kini tengah memoles diri untuk kembali menjadi destinasi wisata populer, baik di kalangan turis domestik maupun mancanegara.
Dibandingkan dengan destinasi lain seperti Bali dan Yogyakarta, Cirebon bisa dibilang sudah tertinggal kereta cukup jauh. Dua kota ini sudah menjadi destinasi wisata sejak 30 tahun lalu. Akan tetapi, Cirebon optimistis mampu mengejar ketertinggalan tersebut.
Keyakinan itu tumbuh setelah melihat perkembangan pariwisata Cirebon yang cukup pesat akhir-akhir ini. Salah satu pemantiknya adalah akses jalan tol Cikampek–Palimanan (Cikapali) sepanjang 269 km.
Sejak diresmikan pada medio 2015, pintu gerbang menuju Ci rebon seolah menjadi semakin terbuka lebar. Wajar saja, sebab waktu tempuh dari berbagai kota menjadi lebih singkat. Sebagai contoh, perjalanan dari Jakarta–Cirebon dapat terpangkas menjadi hanya 3--4 jam dalam kondisi normal.
Kondisi ini membuat Cirebon kini menjadi alternatif destinasi wisata bagi masyarakat Ibukota, selain Bandung atau Puncak. Apalagi dua lokasi tersebut sudah terlalu padat pada akhir pekan. Bahkan, kini banyak turis dari Bandung yang juga memilih berlibur ke Cirebon.
“Sejak ada tol Cikapali ketika momentum mudik tahun lalu, tingkat okupansi hotel kami terus meningkat hingga sekarang. Dulu, okupansi saat weekdays lebih tinggi dibandingkan dengan weekend, sekarang setiap weekend selalu penuh,” kata Chicko Handoyo, Public Relation Manager Hotel Santika Cirebon, salah satu hotel bintang tiga di kota tersebut.
Menurutnya, hampir setiap akhir pekan hotel yang memiliki 87 kamar itu full-booked sehingga tamu perlu melakukan reservasi terlebih dahulu. “Sekarang untung-untungan, sebaiknya booking dari jauh hari,” tuturnya.
Perubahan jumlah wisatawan itu tak hanya dirasakan pelaku bisnis penginapan. Berbagai jenis usaha lain yang terkait dengan bidang pariwisata, seperti bisnis oleh-oleh dan usaha kuliner pun mengungkapkan pengakuan yang senada.
Selly Giovanny, pemilik Batik Trusmi, pusat oleh-oleh Batik khas Cirebon mengungkapkan ada perubahan drastis. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pengunjung gerainya.
“Perkembangannya luar biasa. Sebelum ada tol ini, pengunjungnya paling berjumlah 300 mobil saat weekend, sekarang bisa sampai 1.000 mobil per hari serta 20-30 bis.”
Dari perhitungan kasar, dia menyebut jumlah rata-rata pengunjung per hari berkisar 5.000 – 6.000 orang. Sementara pada hari biasa pengunjungnya berkisar 1.000 –2.000 orang. “Untuk mendatangkan pengunjung, kami kerja sama dengan pemilik bis dan travel,” tutur Selly yang mulai berbisnis sejak 2011.
Pelaku usaha kuliner Cirebon juga turut mencicipi perubahan positif dari peningkatan jumlah turis sebab omzet mereka ikut terkerek.
Bustoni, pengelola Rumah Makan HJ Dian menuturkan kuliner khas seperti empal gentong dan empal asem adalah yang paling banyak diburu oleh pendatang. Dua jenis makanan ini menggunakan bahan daging dan jeroan sapi.
“Sekarang permintaannya meningkat 50% setelah akses jalan tol ter sebut dibuka. Rata-rata bahan baku yang dihabiskan saat weekend sekitar 40 kg daging, sedangkan hari biasa 25 kg,” tuturnya.
BERBAGAI ASPEK
Soal potensi, Cirebon memiliki banyak jenis wisata yang dapat dijual seperti wisata alam, budaya, sejarah, dan kuliner. Ada juga berbagai atraksi kesenian sebagai produk budaya dari berbagai etnis yang mendiami Cirebon sejak dulu.
Kota ini juga masih memiliki keraton tertua yang berusia lebih dari 500 tahun, yakni Keraton Kasepuhan yang tetap terawat dan difungsikan hingga kini. Selain itu terdapat makam Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam ke Jawa Barat.
Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Arief Natadiningrat mengatakan kota ini memiliki sedikitnya 30 masjid kuno berusia ratusan tahun, gereja Katolik, dan gereja Protestan serta kelenteng tertua dari zaman Laksamana Cheng Ho.
“Pada masa Laksamana Cheng Ho mendarat di Cirebon pada abad 15, kota ini termasuk dalam salah jalur perdagangan sutra. Kemudian pada Abad 19 menjadi pengekspor gula terbesar di dunia,” kata dia.
Meski kini posisi Cirebon sudah kian strategis, menurut Sultan Arief, masih perlu upaya yang lebih besar untuk menarik wisatawan. Pembenahan perlu dilakukan dalam ber bagai aspek, mulai dari infrastruktur, penambahan akomodasi, serta penataan objek-objek wisata.
Dalam hal infrastruktur, selain jalan tol, saat ini sudah ada akses kereta api double track yang menghubungkan Cirebon dengan berbagai kota di Pulau Jawa. “Untuk rel kereta api, baik dari utara maupun selatan, itu semuanya lewat Cirebon. Ada 200 rangkaian kereta api setiap hari, artinya tiap tujuh menit ada kereta,” katanya.
Dia juga menyinggung soal pembangunan bandara Internasional Jawa Barat yang akan selesai pada 2017. Bandara seluas 1.800 ha dengan tiga runway ini ditargetkan beroperasi mulai 2018 dan dapat didarati oleh pesawat berbadan besar.
Selain itu, pemerintah juga menggagas pengembangan Pelabuhan Cirebon. Pelabuhan ini akan diperluas dari 45 hektare saat ini menjadi 100 hektare dan secara bertahap menjadi 200 hektare.
“Saat ini kami sedang menunggu Rencana Induk Pelabuhan dari Kementerian Perhubungan. Kedalaman pelabuhan idealnya harus di atas 10 meter agar dapat disinggahi kapal-kapal pesiar.
Sekarang kondisi Pelabuhan Cirebon sudah ketinggalan zaman dengan dalam sekitar 5,5 meter,” kata General Manajer Pelindo II Cabang Cirebon Hudadi Soerja Djanegara, saat dihubungi.
Tentunya, berbagai upaya itu akan kembali menggeliatkan pariwisata Cirebon, dan pada ujungnya dapat menyokong perekonomian nasional. Kita tunggu saja...!