Perekonomian
Suatu siang, beberapa wanita sibuk di Galeri De Simpor. Seolah kompak menjaga ritme, dua orang wanita dengan gesit mencelupkan cetakan kayu batik ke dalam sebaskom malam lalu menempelkannya dengan pasti pada selembar kain merah yang membentang di hadapan.
Sementara, tiga orang sibuk melukis malam menggunakan canting pada kain mori putih yang sudah digambar pola.
"Gampang-gampang susah membuat batik," kata wani (42) warga Desa Sukamandi, Belitung Timur, salah seorang pengrajin di gerai Batik De Simpor.
Wani dan kawan-kawannya sudah bergabung menjadi pengrajin batik sekitar lima tahun. Dia menuturkan, dengan menjadi perajin, dirinya bisa menikmati pendapatan tetap berupa gaji senilai hampir Rp2 juta setiap bulannya.
"Kalau mendengar gaji saya, tetangga banyak yang mau ikut. Tapi, ada juga yang enggak mau karena harus melewati serangkaian pelatihan," kata ibu dua anak itu.
Berkat bergabung menjadi perajin batik, Wani yang suaminya hanya bekerja sebagai buruh bangunan lepas, kini bisa menyekolahkan anak sulungnya hingga ke jenjang perguruan tinggi di Bogor.
Wani mengatakan dia merasa sangat beruntung memiliki keahlian membatik, meski setiap pagi dia harus mengayuh sepedanya selama setengah jam dari desanya menuju galeri.