Bisnis.com, JAKARTA - Belitung mungkin sudah biasa. Bagaimana dengan Bangka? Pulau penghasil timah ini memang belum setenar wisata Belitung. Namun, jangan salah duga, karena Bangka menyimpan keindahan pantai yang luar biasa, dan tentunya menawarkan suasana tenang.
Jika Anda ingin berpesiar ke Pulau Bangka, cobalah masuk dari Palembang. Sensasinya sungguh berbeda daripada terbang langsung ke Pangkal Pinang yang letaknya di timur Pulau Bangka. Dengan menyeberang dari Palembang ke Bangka, Anda akan tiba di Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka Barat.
Dari kabupaten ini Anda dapat menyusuri Pulau Bangka dari atas hingga bawah. Selain itu, ketika Anda menyeberang ke Bangka, Anda bakal merasakan sensasi naik kapal cepat dari Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Menyusuri Sungai Musi, hingga masuk ke Laut Cina Selatan, dan mendarat di dermaga Tanjung Kalian, Kecamatan Mentok.
Lama perjalanan sekitar tiga jam. Setibanya di dermaga Tanjung Kalian, pelancong dapat menjumpai mercusuar setinggi 65 meter dengan 18 lantai. Warna dindingnya yang merah itu cukup menarik perhatian pendatang, seperti saya. Mercusuar peninggalan Belanda pada abad 19 itu memiliki ratusan anak tangga yang membuat saya cukup ngos-ngosan menaikinya. Hingga sampai di puncak mercusuar, tenaga yang cukup terkuras terbayar sudah.
Saya bisa menyaksikan sebagian Pulau Bang-ka yang dikelilingi laut lepas dan berfoto dilatarbelakangi laut biru. Saat itu, pada awal Maret 2016 langit Bangka begitu biru, sebiru laut. Dari mercusuar, saya menumpang mobil sewaan menuju kawasan Bukit Menumbing, sebuah lokasi bersejarah tempat pengasingan tokoh kemerdekaan pascaagresi Militer Belanda II pada 1948. Di sisi kanan dan kiri jalan, tanaman kelapa sawit dan lada terhampar, diselingi lahan gundul bekas galian tambang timah.
Bangka tenar akan timah, sawit, dan lada. Tanjung Kalian ke Bukit Menumbing terpisah jarak kurang dari 22 kilometer. Jalan yang mulus dan tiada macet membuat perjalanan ke Bukit Menumbing cukup ditempuh selama 30 menit.
Memasuki kawasan Menumbing, jalanan mulai berkelok, menanjak, dan menyempit. Tidak ada satu pun rumah penduduk di area bukit setinggi 450 mdpl ini. Mobil yang saya tumpangi membelah jalanan di antara lebatnya hutan dan rapatnya pepohonan. Tepat saat saya tiba di tujuan, kabut tipis mulai menggerayangi udara. Hawa sejuk cukup menyegarkan.
Di Bukit Menumbing itulah, Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Ali Sastro Amidjojo, dan Mohammad Roem pernah diasingkan selama beberapa bulan. Persis di puncak bukit, berdiri rumah yang masih cukup kokoh berisi kamar tidur, ruang pertemuan, serta benda-benda peninggalan sejarah lainnya. Sebut saja, mobil dinas Bung Hatta, galeri foto sarat kisah, lukisan para tokoh di ruang tengah, serta secarik kertas usang dari sang proklamator Bung Karno yang ditujukan kepada Fatmawati.
Beranjak dari memori histori, esok hari saya menjelajah Bangka bagian tengah. Pesona alam hingga harmoni budayanya memang sungguh memikat, semuanyanya berpusat di Sungailiat. Saya disuguhi pantai yang tak kalah istimewa dari pulau-pulau tetangga. Pantai Parai Tenggiri, Pantai Batu Bedaun, Pantai Matras, dan Pantai Tanjung Pesona.
PASIR PUTIH
Pesona pantai di pesisir Bangka memang tak jauh berbeda dengan Belitung. Berpasir putih lembut, bebatuan besar, dan laut yang berarus cukup tenang. Saya menghabiskan sekitar dua jam duduk di atas sebongkah batu besar hingga senja perlahan datang. Dari barisan pantai terselip Pantai Tongaci, lokasi penangkaran penyu mulai dari proses pengeraman telur hingga pembiakan tukik. Untuk proses bertelur digelar di beberapa pulau kecil tak berpenghuni di area Kepulauan Bangka Belitung.
Pulau-pulau itu nantinya juga jadi tempat pengembalian penyu ke habitat aslinya. Sekitar 10 menit berkendara dari Pulau Tongaci, saya menengok Pagoda Vihara Puri Tri Agung. Pagoda ini bukti dari indahnya keberagaman budaya. Sebab, di pagoda itu tersimpan tiga patung yang berasal dari tiga agama dan kepercayaan, yakni Budha, Konghucu, dan Taoisme. Pagoda Vihara Puri Tri Agung terletak di area Pantai Tikus, Sungailiat.
Arsitektur bangunan seluas 600 meter persegi diresmikan pada 2015 setelah dibangun sejak 12 tahun silam. Tepat di tengah altar berhiaskan keramin berbentuk bunga Lotus, berdiri patung Buddha Sakyamuni, Kong Zi, dan Lao Zi. Bergeser sedikit ke timur, saya melintasi Kota Pangkal Pinang, Ibu Kota Provinsi Bangka Belitung. Tidak seperti Sungailiat, Pangkal Pinang jauh lebih ramai. Lalulintas kendaraan bermotor serta aktivitas warga tampak lebih hidup di sini.
Sejumlah destinasi wisata tersedia. Sebut saja Pantai Pasir Padi, Pantai Tanjung Bunga, Museum Timah, Bang ka Botanical Garden, serta beberapa klenteng dan kuil. Bila punya banyak waktu, saya pasti tidak akan melewatkan satu pun di antaranya. Sebelum petang saya tiba di Desa Terentang. Nama desa ini mendadak tenar karena ribuan orang mendatanginya untuk menyaksikan Gerhana Matahari total. Warga lokal, turis dalam dan luar negeri, peneliti, wartawan, hingga pejabat daerah memenuhi desa ini.
Alhasil, ruas jalan desa ini mendadak dipenuhi kendaraan. Pukul enam pagi (9 Maret) saya bergegas menuju bibir Pantai Terentang. Langit cukup terang, sinar matahari mulai meruak. Kemacetan dan kerumunan orang tak berkurang sejak semalam. Setiap orang sudah memegang pelindung mata untuk melihat gerhana matahari total. Saya bersyukur diberi kesempatan menikmati momen yang paling dinanti abad ini. ()