Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah studi baru mengungkap, bahwa kematian pasangan hidup bisa membuat hancur hati pasangan yang ditinggalkan. Bukan hanya secara emosional, tapi fisik.
Peneliti menemukan, orang yang kehilangan pasangan dalam 30 hari, 41 persen lebih mungkin menghasilkan detak jantung yang tak teratur jika dibandingkan dengan orang yang tak berduka.
Semakin tak terduga kematian pasangannya, maka semakin tinggi risiko tak teraturnya debaran jantung. Tak teraturnya detak jantung seseorang ini disebut dengan aritmia.
“Stres memang sering dikaitkan dengan aritmia, dan stres akut kehilangan pasangan merupakan salah satu penyebab terbesar dari stres psikologis,” kata Simon Graff, peneliti dari Aarhus University, Denmark, Selasa (5/4/2016).
“Kami ingin menguji hubungan antara keduanya,” katanya.
Menurut penelitian, orang berusia di bawah 60 tahun lebih terpengaruh oleh kehilangan pasangan. Risiko aritmia kelompok usia ini dua kali lipat dibandingkan usia lain.
Risiko aritmia lebih tinggi pada orang yang pasangannya meninggal mendadak daripada yang pasangannya meninggal setelah menderita sakit cukup lama.
Untuk melihat hubungan antara fibrilasi atrium dan kehilangan pasangan, para peniliti mengacu pada catatan kesehatan orang Denmark pada tahun 1995-2014.
Dari catatan itu, peneliti mengidientifikasi ada 88.612 kasus fibrilasi atrium. Sebanyak 17.478 di antaranya diketahui kehilangan pasangan setahun sebelumnya.
Fibrilasi atrium adalah jenis paling umum dari aritmia. Hal ini terjadi ketika terjadi malfungsi dalam sistem listrik jantung yang menyebabkan dua bilik atas jantung berkontraksi sangat cepat dan tak teratur.
Risiko Kematian
Graff mengatakan, orang yang menderita fibrilasi atrium sering mengeluh jantung berdebar, sesak napas, dan ketidaknyamanan di dada. Kondisi ini juga terkait dengan peningkatan risiko kematian, stroke, dan gagal jantung.
Dari catatan medis, peneliti juga melihat latar belakang penderita fibrilasi atrium. Latar belakang yang menjadi pertimbangan antara lain status pernikahan, apakah mereka tinggal dengan pasangannya, usia, obat dan historis rawat inap di rumah sakit.
“Kami juga lihat seberapa besar kemungkinan masalah aritmia muncul sebulan setelah kematian pasangan,” kata Graff.
Dikatakan, kematian pasangan diprediksi dapat mempengaruhi proses hormonal dasar yang bisa berubah dalam sekejap. Misalnya, hormon adrenalin dalam jumlah berlebihan bisa mengganggu irama jantung.
Selain itu, stres mental akut dapat menyebabkan ketidakseimbangan sistem saraf pusat yang mengendalikan denyut jantung dan jalur listriknya.
Para peneliti masih terus menguji hubungan antara kesehatan jantung dan stres emosional. Graff mengatakan, orang yang baru kehilangan pasangan harus terus diawasi kesehatan jantungnya.
“Harus waspada gangguan jantung pada tahap awal berkabung,” kata dia.