Bisnis.com, JAKARTA - Bagi Taruli Elbina, mendapatkan jatah libur adalah momentum langka di sela-sela pekerjaan penuh waktunya sebagai guru salah satu sekolah dasar terkemuka di Surabaya.
Karena sulitnya mendapatkan waktu yang tepat untuk mengambil cuti itulah, perempuan 29 tahun tersebut ingin agar masa liburannya dihabiskan dengan penuh kesan.
Jauh-jauh hari dia telah mempersiapkan rencana perjalanan ke tempat yang belum pernah dikunjunginya. Pilihannya pun jatuh ke Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setengah nekat, dia berangkat sendiri ke Kabupaten Manggarai. Di sana, dia bertemu beberapa teman baru, sesama traveler yang juga baru pertama kali berlibur di NTT.
Mereka lantas membulatkan tekad untuk berpetualang bersama ke Desa Bena, Wae Rebo, dengan berpekal sejumput referensi destinasi wisata yang didapatkan dari berbagai media daring.
Di Wae Rebo, Taruli dan rombongannya harus terlebih dahulu ke pos pertama untuk mengurus perizinan masuk ke Desa Bena.
"Setelah itu, kami trekking sekitar 3,5 jam, sebelun akhirnya masuk ke desa adat bersama guide-nya. Dia harus memukul kentongan terlebih dahulu sebagai pertanda minta izin untuk kami sebagai tamu," jelas perempuan berambut pendek itu.
Taruli terpesona saat akhirnya tiba di desa terpencil di atas perbukitan, yang memiliki 7 rumah adat Mbaru Niang itu. Apalagi, kedatangannya disambut dengan upacara kecil-kecilan oleh kepala suku setempat.
"Kami diberitahu banyak wejangan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Wae Rebo. Kami juga diberitahu kebiasaan-kebiasaan dan fungsi tata ruang rumah di sana," jelasnya.
Dia dan teman-temannya pun diharuskan menggunakan kain khusus adat setempat selama menetap di desa tersebut.
Selama di desa yang bebas sinyal seluler itu, Taruli menjajal sensasi menjadi warga desa adat yang bertolak belakang dengan pola hidupnya selama ini di kota besar.
"Saya bermain dengan anak-anak Wae Rebo, mengajar mereka, makan bersama dengan penduduk desa dan travelers lain yang sebelumnya tidak saya kenal, dan membantu warga setempat memetik kopi," paparnya.
Namun demikian, tidak semua traveler yang baru bertandang ke desa tersebut menunjukka perilaku yang santun. Ada saja yang 'tidak memahami' posisinya sebagai tamu di desa orang.
Bagaimanapun, Taruli mengaku gaya berlibur seperti itu jauh lebih meninggalkan nilai moral dibandingkan liburan wisata ala turis.
"Kita mendapat pengalaman sosial baru, teman-teman baru, membuka pikiran terhadap perbedaan, dan memahami berbagai macam tingkat kedewasaan seseorang ketika sedang jauh dari zona nyamannya."
Seperti halnya fesyen, perjalanan wisata pun memiliki trennya sendiri. Belakangan ini ada beberapa fenomena traveling yang digandrungi, misalnya saja open trip, solo travel, experimental travel, hingga cultural travel.
Jika diperhatikan, masing-masing dari tren perjalanan wisata saat ini lebih mengedepankan cara-cara untuk memperoleh pengalaman baru, menjelajah tempat-tempat eksotis, dan memperkaya pengetahuan dengan merasakan kehidupan lokal di tempat asing.
Banyak orang yang mulai tertarik pada sisi pengayaan pengalaman melalui penjelajahan, ketimbang sekadar menikmati pemandangan dan suasana saat berlibur. Mereka pun kini lebih suka disebut sebagai traveler ketimbang turis.
Seiring dengan pergeseran orientasi para pecandu leisure, berbagai kelompok atau komunitas berbasis traveling pun bermunculan untuk memenuhi hasrat para anggotanya yang semakin haus akan pengalaman baru agar tidak kalah saing.
Mereka berlomba-lomba memberikan penawaran unik dalam perjalanannya. Seperti yang dilakukan oleh Wanderlust yang menawarkan konsep edukasi dan pertalian sosial dalam perjalanan wisata.
Pendiri Wanderlust Syahira Marina mengatakan untuk memuaskan dahaga paratravelerakan pengalaman baru, sebuah perjalanan wisata harus mengandung value yang tinggi, yang menggabungkan unsur traveling, volunteering, dan social engagement.
Salah satu kegiatan yang dilakukan Wanderlust adalah mengadakan perjalanan spesial bertema If I Were a Local. Konsepnya sebenarnya mirip Kuliah Kerja Nyata [KKN], dan targetnya biasanya warga asing atau ekspatriat, kata Syahira.
Melalui perjalanan tersebut, traveler diberikan akses untuk merasakan bagaimana menjalani hidup sebagai warga lokal selama 2 pekan. Destinasi yang dipilih adalah yang menawarkan peradaban yang berbeda, seperti kawasan-kawasan desa adat yang jauh dari unsur modern.
Guna menambah value dan memperdalam kesan dalam perjalanan, para traveler juga diajak untuk melakukan kegiatan sukarela seperti memberikan edukasi bagi warga setempat. Misalnya saja di Cisompet, di Gunung Padang, atau di Krakatau.
Di Ujung Kulon, misalnya, kelompok Wanderlust bekerja sama dengan warga setempat untuk melakukan bimbingan belajar. Jadi sembari berwisata ke Ujung Kulon, para peserta juga harus membagi ilmu sesuai profesi mereka masing-masing.
Melalui kegiatan semacam ini, kami sekaligus memberi keyakinan kepada anak-anak di destinasi wisata yang terpencil untuk mau bermimpi besar. Kami juga membuat semacam taman bacaan, imbuhnya.
Syahira mengaku proses membangun relasi dengan warga lokal dalam kegiatan wisata berjalan secara alami. Biasanya, sebelum memperkenalkan destinasi baru kepada lebih banyak traveler, dia melakukan survei kepada warga lokal.
Kami mencari tahu apa saja yang dibutuhkan oleh destinasi tersebut untuk pengembangan. Biasanya, untuk membangun relasi tersebut, kami tidur di rumah warga selama dua sampai tiga hari, dan banyak mengobrol santai. Namun, relasi itu harus dijaga secara berkesinambungan. Jangan hanya datang ketika sedang butuh saja.
Dia mengaku penggemar experimental trip di Indonesi sudah semakin banyak. Biasanya yang berusia 22-35 tahun, alias yang sudah bisa mencari penghasilan sendiri dan haus akan relaksasi di sela-sela hari kerja mereka.
Namun, tidak sedikit juga warga asing yang sengaja datang ke Indonesia dan mencari kelompok-kelompok yang bisa menghubungkan mereka dengan desa-desa tradisional. Lagi-lagi, mereka ingin mendapat pengalaman baru sebagai warga lokal untuk beberapa hari.
Dari segi biaya, wisata pengalaman lebih tidak terprediksi ketimbang liburan terjadwal. Akan tetapi, untuk biaya akomodasi saja, biasanya memakan budget antara Rp950.000 hingga Rp2,5 juta untuk sekali bepergian sepanjang akhir pekan.
Satu hal yang paling penting dari wisata pengalaman adalah menjaga tanggung jawab. Syahira mengaku masih banyaktravelerdi Indonesia yang abai terhadap kebersihan lingkungan saat sedang berwisata atau menjelajah.
Kami ingin mengajak agar peserta menjadi wisatawan yang bertanggung jawab, tidak membuang sampah sembarangan. Caranya, bisa dengan membawatumblermasing-masing dan tidak memakai botol atau gelas, imbuh Syahira.
Jika sedang berwisata di laut, lanjutnya, jangan sampai menginjak terumbu karang. Bahkan, bila perlu, ada baiknya mendatangi pusat-pusat budidaya untuk membantu menanam terumbu karang sebagai bagian dari proses imbal balik kepada warga lokal.
Jadi, jika Anda berniat liburan dalam waktu dekat, tidak ada salahnya sesekali mencoba lepas dari jadwal perjalanan yang terpatok pada destinasi-destinasi mainstream. Cobalah berwisata dengan mengeksplorasi pengalaman baru.
Kenakanlah pakaian senyaman mungkin, dan tetaplah berpikiran terbuka terhadap segala peluang yang mungkin terjadi. Siapa tahu perjalanan yang kaya akan pengalaman akan mengubah cara pandang Anda dalam menghadapi permasalahan kehidupan.
Kemudian, hal lain yang ingin kami tekankan; banyak-banyaklah berinteraksi dengan warga lokal saat open trip. Jangan hanya sibuk foto-foto sendiri, karena tujuan kita traveling adalah untuk memahami keberadaan lingkungan di sekitar kita, tegas Syahira. ()