JAKARTA - Para pemimpin negara Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung bersuka cita menyambut peluncuran Satelit Berdikari, 18 April 1965. Hari itu menjadi momen bersejarah bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika karena mereka telah sejajar dengan negara-negara di Blok Barat dan Blok Timur.
Nama Berdikari diambil dari akronim bahasa Indonesia, Berdiri Dengan Kaki Sendiri. Kalimat tersebut menyiratkan pesan semangat independensi dan kemandirian bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Selepas satelit mengangkasa maka komunikasi antar negara-negara bekas jajahan kolonial tersebut terbangun. Sebab saling terhubung ini sangat diperlukan untuk mengkomunikasikan gagasan perdamaian dunia yang dimotori Asia dan Afrika.
Kisah utopis ini merupakan konsep delegasi Indonesia pada pameran London Design Biennale (LDB) 2016 di Somerset House, London, Inggris, 7 - 27 September. Para delegasi terdiri atas seniman, desainer, dan arsitek. Mereka adalah Irwan Ahmett, Bagus Pandega, Yola Yulifanti, Adi Purnomo, Suyeni, Agra Satria, Fandy Susanto, Max Suriaganda dan Savira Lavinia.
Pada pameran ini, tim Indonesia menampilkan replika Satelit Berdikari lengkap dengan kisahnya yang berlatarbelakang KAA. Konsep dibuat demikian agar sejalan dengan tema pameran Utopia by Design. Ajang yang pertama kali digelar di Negeri Ratu Elizabeth itu mengundang 33 negara dari enam benua termasuk Indonesia.
"Satelit ini cerita fiksi yang kami selipkan dalam perjalanan sejarah KAA," ucap kurator tim Indonesia Danny Wicaksono kepada Bisnis.com di Jakarta pada 31 Agustus lalu.
KAA dipilih Indonesia karena tersimpan gagasan besar akan perdamaian dunia yang termaktub dalam Dasasila Bandung. Namun gagasan besar itu urung teralisasi akibat tak adanya komunikasi antar negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Dalam kondisi demikian dibutuhkanlah satelit yang dapat menghubungkan kedua bangsa itu.
"Kami sepakat untuk membuat sebuah satelit yang berisi informasi yang dapat dimanfaatkan jutaan umat manusia," tuturnya.
Danny menuturkan proyek ini dikerjakan sejak November tahun lalu hingga pertengahan tahun ini. Waktu berbulan-bulan itu untuk menemukan ide hingga mewujudkannya dalam bentuk instalasi satelit. Di luar nama-nama desainer, arsitek, dan seniman yang disebutkan, ada pula sejumlah pihak yang diundang membahas proyek ini.
"Seluruhnya kami kerjakan di Bandung. Menyatukan semua isi kepala untuk proyek ini. Jadi prosesnya panjang sekali," tuturnya.
Di Somerset House, delegasi Indonesia menempati paviliun Freedome yang memiliki dua ruang. Ruang pertama diisi arsip-arsip perjalanan panjang KAA termasuk menyinggung kehadiran Satelit Berdikari. Ruang kedua ditempati instalasi replika Satelit Berdikari yang mengapung di udara. Replika Satelit melayang di atas bola-bola bermaterial sabut kelapa. "Jadi di ruang pertama itu semacam museum untuk mengenalkan gagasan KAA," ujar Irwan Ahmett, seniman perancang konsep.
Secara spesifik replika satelit ini memiliki berat 8 kilogram terbuat dari material plastik. Ukurannya 35 cm di sisi diameter terkecil dan 60 cm pada diameter ukuran terpanjang. Di dalam tubuh satelit tertanam magnet. "Di satelit itu ada 10 jendela yang merepresentasikan Dasa Sila Badung," katanya.
Mengapungya satelit ini di udara berkat bantuan mesin levitasi. Sebuah mesin yang mampu melayangkan objek di udara menggunakan magnet untuk melawan gravitasi. Untuk mengangkat benda seberat 8 kilogram, alat ini dipesan khusus dari pabriknya di Belanda.
Badan Ekonomi Kreatif selaku donatur kegiatan ini memastikan usai acara instalasi ini tidak akan dijual melainkan diletakkan di ruang publik di Indonesia agar masyarakat umum dapat menikmatiya. Deputi IV Bidang Pemasaran Bekraf Joshua Puji Mulia Simanjuntak mengatakan pihaknya tengah memikirkan beberapa alternatif tempat seperti Museum KTT Asia Afrika di Bandung, Galeri Nasional di Jakarta, dan sejumlah lokasi di daerah lain.
"Kami akan bawa pulang, masyarakat harus bisa menikmati karya anak bangsa ini. Namun kami harus mendiskusikan hal tersebut dengan pihak-pihak terkait," tuturnya.