Bob Dylan, musisi legendaris asal Amerika Serikat, secara mengejutkan menerima penghargaan prestisius Nobel Sastra 2016. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang musisi berhasil memboyong penghargaan Nobel di bidang kesusastraan.
Dylan meraih perhargaan tersebut karena dianggap berhasil ‘menciptakan ungkapan puitis baru dalam tradisi musik Amerika’. Kemenangan Dylan ini sekaligus juga mematahkan harapan banyak pencinta sastra di seluruh dunia.
Sebelumnya, nama-nama yang beredar sebagian besar adalah sastrawan dan novelis. Haruki Murakami, Ngugi wa Thiong’o, atau penyair Amerika Serikat Joyce Carol Oates sebenarnya lebih diunggulkan. Murakami, penulis asal Jepang, bahkan sudah berkali-kali dijagokan untuk meraih penghargaan tersebut.
Alih-alih meluncur ke Jepang, medali Nobel Sastra kali ini malah melayang ke Amerika Serikat, menjadikan Bob Dylan sebagai tokoh Negeri Paman Sam pertama dalam dua dekade terakhir yang menerima hadiah Nobel.
Sebelumnya Thomas Morisson, novelis asal AS, menjadi yang terakhir kali—sebelum Dylan—memenangkan hadiah itu pada 1993. Mengapa seorang musisi bisa memenangkan Nobel Sastra sekaligus menyingkirkan novelis kondang seperti Murakami?
Sara Danius, Sekretaris Permanen Akademi Sains Kerajaan Swiss, menuturkan Dylan adalah penyair besar dalam tradisi literasi Inggris. Dia bahkan membandingkan karya-karya Dylan dengan Homer dan Sappho. Dua nama ini merupakan penyair era Yunani kuno yang karya puisinya sering ditampilkan bersamaan dengan instrumen alat musik.
“[Bob Dylan] telah menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi musik AS yang luar biasa,” tutur Danius, saat mengumumkan nama Dylan, seperti dikutip dari situs resmi Komite Nobel, Kamis (13/10).
Munculnya nama Dylan sebagai kandidat peraih Nobel, sebenarnya bukan dimulai pada tahun ini saja. Setidaknya di Amerika Serikat. Bill Wyman, seorang penulis lepas yang juga mantan basis Rolling Stones, sudah mempromosikan musisi bernama asli Robert Allen Zimmerman ini melalui opininya di New York Times pada 2013. Kala itu penghargaan tersebut akhirnya diberikan kepada Alice Ann Munro.
Kendati mengejutkan, respons yang muncul sebenarnya cukup positif. Novelis kontroversial Salman Rushdie, misalnya, mendukung penuh penunjukan Bob Dylan sebagai pemenang Nobel Sastra tahun ini. “Dylan adalah pewaris brilian dari tradisi bardic. Pilihan yang bagus,” kicau penulis novel Ayat-Ayat Se tan ini melalui Twitter.
TIDAK SEMUA BERGEMBIRA
Namun, tidak semua bergembira atas keputusan The Royal Swedish Academy of Sciences memberikan penghargaan Nobel Sastra 2016 kepada Dylan.
Penulis kondang Irvine Welsh, misalnya, mengaku sebagai penggemar Bob Dylan, tetapi menganggap sang musisi tidak pantas mendapatkan Nobel Sastra.
Menurutnya, musik dan literatur memiliki dimensi yang berbeda sehingga ti dak seharusnya Dylan menggondol penghargaan tersebut.
Sementara itu, penggagas ajang penghargaan sastra Kusala Literary Award Richard Oh mengaku gembira terhadap kabar tersebut. Dia menilai kontribusi Bob Dylan melalui lirik lagu dan ekspresi musiknya selalu merujuk ke pada keadilan, kesetaraan, dan kebersa ma an.
“Di dunia yang semakin berjarak dari pemahaman estetika sebagai bagian pembentukan humaniora, yakni bukan sekadar berseni untuk seni, tetapi untuk tujuan humanitas. Pilihan Komite Nobel sangat relevan,” ujarnya kepada Bisnis.
Kendati demikian, dia tidak memungkiri jika terdapat nama-nama besar di dunia sastra yang juga layak menerima hadiah Nobel. Namun, Richard berpendapat kontribusi Dylan tidak kalah mentereng jika dibandingkan dengan tokoh sastra terkemuka seperti Philip Roth, Milan Kundera, atau Lazio Krasznahorkai.
Di dunia musik sendiri, nama Bob Dylan sebenarnya sudah sangat mentereng. Berkali-kali Dylan menyabet penghargaan Grammy Award atau sebagai nominator. Apa yang diperolehnya belum termasuk apresiasi bergeng si lainnya.
Pada 2012 lalu, misalnya, Dylan juga dianugerahi Presidential Medal of Freedom, pengakuan tertinggi bagi masyarakat sipil Amerika, oleh Presiden Barrack Obama.
Jika mendengarkan lagu-lagunya, Dylan memang seperti tengah ber puisi. Coba saja dengarkan ‘Blowin in the wind’ yang menjadi sa lah satu masterpiece-nya.
Lagu yang penuh dengan pertanyaanpertanyaan filosofis tersebut menggambarkan bagaimana Dylan tidak hanya sekadar me nulis lirik, tetapi juga berpuisi. Tidak heran jika Sara Danius menyebut karya Dy lan sebagai ‘puisi untuk telinga’.
Menurut catatan bibliografi situs resmi Komite Nobel, Bob Dylan lahir pada 24 Mei 1941 di Duluth, Minnesota. Musisi yang tumbuh dalam keluarga kelas menengah Yahudi itu semasa remaja bermain dalam beragam band dan punya ketertarikan khusus pada musik folk Amerika dan blues.
Dylan telah merekam banyak album dengan tema seputar kondisi sosial, agama, politik dan cinta. Liriknya masih terus diterbitkan dalam edisi-edisi baru berjudul ‘Lyrics’. Sebagai seorang artis, dia juga aktif sebagai pelukis, aktor dan penulis naskah.
Selain menghasilkan banyak album, Dylan menerbitkan karya eksperimental seperti ‘Tarantula’ (1971) dan koleksi ‘Writings and Drawings’ (1973). Terkait Nobel Sastra yang berhasail diraih Dylan, perdebatan tanpa ujung soal apakah lirik lagu menjadi bagian dari literatur mungkin akan menghiasi ruang-ruang publik. Namun, jika melihat sumbangsihnya terhadap dunia musik, nampaknya semua pihak mau ti dak mau mestinya mengakui kehebat an Dylan.
Dengan penghargaan yang diperolehnya kali ini, Dylan akan memperoleh uang senilai Rp12 miliar pada usianya yang telah memasuki 75 tahun ini. Sungguh angka yang tak diduga di usia yang tak lagi muda.