Bisnis.com, JAKARTA - Seniman seni peran legendaris Teguh Karya menjadi salah satu yang terbaik dalam sejarah di Indonesia. Perannya sebagai guru dan mentor di Teater Populer telah menghasilkan banyak seniman berbakat seperti Christine Hakim dan Slamet Rahardjo.
Meski terakhir membuat film pada 1986 dengan judul Pacar Ketinggalan Kereta, tapi karyanya tetap menjadi rujukan para seniman bahkan sampai saat ini. Termasuk seniman muda berbakat Wregas Bhanuteja.
Sutradara muda yang menyabet gelar film pendek terbaik di Festival Film Cannes 2016 lewat film Prenjak atau In The Year of Monkey ini mengaku banyak belajar dari karya-karya mendiang Teguh, baik secara teknik pengambilan gambar maupun penulisan skenario.
Pada diskusi bertema Setelah Teguh Karya di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, Jumat (22/09/17) malam, Wregas mengaku baru menonton film-film Teguh sewaktu kuliah. Film pertama yang ditontonnya adalah November 1828.
Wregas menyebut Teguh Karya banyak keluar dari kebiasaan Hollywood Classic dan membuat formulasinya sendiri. Teguh Karya tidak membuat cerita yang biasa, dan tidak menempatkan penonton sebagai orang yang harus digurui.
"Dia selalu menempatkan penonton pada titik abu. Ini bebas mencari point of view, tidak menggurui," jelasnya.
Baca Juga Mengenal Teguh Karya Lewat Diskusi |
---|
Secara teknik, Wregas juga melihat Teguh Karya banyak melakukan decoupage dalam film-filmnya. Decoupage adalah cara membagi sebuah adegan ke dalam satu atau banyak shot.
"Saya kira akan minimalis shot. Tapi pak teguh justru banyak movement, kena di zoom. Ini sinematografi yang mengagetkan."
Wregas juga mengatakan Teguh Karya selalu mewakili kaum menengah dan permasalahannyayang nyata, khususnya di Jakarta dan sekitarnya pada masa itu.
Baca Juga Fenomena Equinox, Ini Penjelasan BMKG |
---|
Dia menyebut Teguh Karya selalu menampilkan "Cerita-cerita yang dekat dan tidak menghakimi.