Bisnis.com, JAKARTA - Tumor otak adalah salah satu 'silent killer' di dunia kesehatan. Gejalanya yang hampir mirip dengan penyakit lainnya membuatnya seringkali terlambat ditangani. Ditambah, pasien tumor otak umumnya takut dengan metode operasi yang berdarah-darah.
Kini dengan mode minimal invasive surgery dan metode keyhole, tumor otak dapat diatasi dengan operasi melalui alis mata. Selain tidak meninggalkan bekas luka operasi yang panjang, metode ini juga lebih aman dan tidak menakutkan bagi pasien. Teknik keyhole surgery supra orbital approach atau operasi dengan lubang kecil sebesar 1-2 cm pada alis mata ini ditemukan oleh seorang profesor bedah saraf dari Jerman bernama Axel Perneczky pada tahun 1999. Teknologi ini terus berkembang, khususnya di Eropa, hingga saat ini.
Di Asia, terutama Indonesia, metode ini dipionirkan oleh dr. Agus C. Anab, SpBS dari tim medis Comprehensive Brain and Spine Centre (CBSC) Indonesia yang berpusat di Surabaya. Pada tahun 2008, ia pernah secara langsung belajar kepada Axel Perneczky, sang penemu metode ini ketika mengadakan workshop di Singapura. Usai mengikuti workshop, ia memperdalam lagi dengan magang pada Profesor Nicolay Hofp, seorang ahli bedah saraf anak didik Axel di Stutgart Jerman tahun 2012. Hingga kini, dokter yang akrab disapa dengan nama dr. Aca ini melakukan operasi sesuai dengan metode dari penemunya tersebut.
Menurut dokter alumnus Universitas Airlangga Surabaya tersebut, menggunakan teknik ini memiliki banyak kelebihan dibanding cara-cara konvensional. Pasien mendapat banyak keuntungan, yaitu luka sayatan kecil sehingga proses penyembuhannya sangat cepat, risiko infeksi kecil, perdarahan minimal, secara kosmetik lebih bagus karena bekas sayatan tersamar dengan alis mata. “Tentu yang paling utama ketika melakukan operasi tidak menyentuh atau merusak bagian otak yang lain,” tegas dr. Agus C. Anab, SpBS yang pernah mempresentasikan teknik ini di acara Asia Oceania Skull Base Surgery Meeting di Mumbai, India tahun 2015.
Dikatakan dr. Aca, dengan teknik keyhole surgery supra orbital approach, untuk mencapai tumor yang ada di balik otak, maka otak terlebih dahulu harus dikempiskan dengan cara mengeluarkan cairannya. Baru kemudian otak disibak melalui gerakan sangat halus, dengan cara ini tumor akan terlihat. Untuk operasi semacam ini, tidak bisa dilakukan dengan mata telanjang tetapi menggunakan mikroskop khusus, sehingga bisa melihat secara jelas sampai titik objek terdalam. Untuk mengambil gumpalan tumor itu, tidak bisa diangkat secara langsung tetapi harus diambil sedikit demi sedikit dan tidak boleh menyentuh bagian yang lain. Oleh karena itu proses operasinya memakan waktu rata-rata 5-6 jam.
Selain itu, sang dokter bedah sebagai operatornya harus memiliki keterampilan yang mumpuni pula.
Dikatakan oleh dr. M. Sofyanto, SpBS, ketua tim medis CBSC Indonesia, mode operasi Minimal Invasive mempunyai keberhasilan yang sangat memuaskan dan mengurangi dampak komplikasi operasi, sehingga pasien bisa segera pulih pasca operasi. Selain itu, operasi ini juga bersih dan minim darah.
"Bahkan dalam beberapa operasi bedah syaraf tertentu, CBSC Indonesia menyediakan fasilitas dimana keluarga pasien dapat menyaksikan langsung jalannya operasi melalui monitor yang tersambung langsung dengan ruang operasi dan berinteraksi langsung dengan tim dokter yang ada di dalam kamar operasi," ujarnya dalam siaran persnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ny Amelia Genial (50 tahun), mantan penderita tumor di kepala ini menceritakan kisahnya lolos dari kebutaan akibat tumor otak dengan cara Operasi lewat Alis Mata yang ditangani oleh dr. Agus C. Anab, SpBS.
Wanita asal Sampit yang saat ini tinggal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, layak berbahagia. Karena dia berhasil lolos dari kebutaan akibat tumor yang tumbuh di dasar tengkoraknya. Gejala sakit ini sudah dirasakan sejak lama, sekitar empat atau lima tahun silam. Ia mulai merasakan pandangan mata sebelah kirinya tidak enak. Seperti ada yang mengganjal di kelopak matanya.
Saat melihat, ia merasakan pandangannya tertutup bayang-bayang melintang dari kiri sisi kiri ke kanan. “Tidak terasa sakit sih, tapi tidak nyaman saja rasanya,” imbuhnya. Karena tidak merasa terganggu berlebihan ia abaikan saja. Ia beranggapan bahwa gejala ini bukan ancaman serius.
Ternyata gangguan itu makin lama makin parah, sehingga dia mencoba datang ke salah seorang dokter spesialis mata di Surabaya yang menyarankan agar dilakukan MRI. Dari hasil MRI itulah akhirnya diketahui bahwa di pangkal saraf mata yang ada di pangkal tengkorak tumbuh tumor cukup besar. Dokter mengatakan bahwa untuk menghilangkan tumor tersebut harus dilakukan operasi.
Setelah melakukan pencarian, ia mendapat informasi ada dokter yang biasa menangani operasi di bagian kepala. Dia adalah dr. Agus C Anab, SpBS, satu tim dengan dr. M. Sofyanto, SpBS yang tergabung di Comprehensive Brain and Spine Centre (CBSC) Surabaya yang berpraktik di National Hospital Surabaya.
Tanpa buang waktu dia menemui dr. Aca, panggilan dr. Agus C Anab. Dari pertemuan tersebut ia mendapat penjelasan bahwa ia masih beruntung segera datang berkonsultasi, karena kalau terlambat sedikit maka tidak hanya sebelah kiri mata sebelah kanan juga akan menjadi korban. Karena berdasarkan hasil MRI, sel tumor sudah mulai menjalar ke pangkal saraf mata sebelah kanan. “Kendati demikian setelah bertemu dengan dr. Aca, saya jadi tenang karena gumpalan tumor tersebut akan bisa diangkat dengan baik,” jelas Amelia.
Yang membuat dirinya semakin tenang adalah teknik operasi pengangkatan tersebut tidak konvensional dengan membuka batok kepala, tetapi menggunakan teknik keyhole surgery melalui eyebrow atau alis mata. Perempuan ini menjalani operasi pengangkatan tumor September 2016 lalu. Operasi itu berhasil dan sukses, kini dia sudah mulai bisa menjalani kehidupan sehari-sehari bebas dari penderitaan yang dialami cukup lama. Ia juga bersyukur operasi yang berjalan selama enam jam, terlaksana dengan baik dengan hasil maksimal. “Bahkan alis mata saya kembali sempurna nyaris seperti tidak ada sayatan,” katanya sambil tersenyum bahagia.
Para mantan pasien dari CBSC Indonesia bahkan membentuk komunitas yang mempermudah para mantan pasien untuk bersilaturahmi dan membagikan pengalaman mereka kepada para penderita lainnya. “Melalui komunitas ini, mereka juga dapat memperoleh informasi yang benar serta segera mendapatkan penanganan yang tepat guna untuk kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik," kata DR. Lilih Dwi Priyanto, M.MT, Mantan pasien yang kini menjadi Ketua Brain and Spine Community.