Bisnis.com, JAKARTA - Di sebuah istana yang penuh kobaran api, Hanoman menemui Rahwana, penculik Shinta. Tanpa banyak kata, raksasa itu segera menyerang kera putih tersebut.
Dengan cekatan, Hanoman berkali-kali berhasil menghindar dari serangan. Tidak lama kemudian, Rama meluncurkan anak panah ke arah Rahwana. Akhirnya, raksasa itu tumbang.
Itulah adegan akhir dari pertunjukan bertajuk Sendratari Ramayana dan Projecting Mapping yang dihelat oleh PT Adhi Karya Tbk di kawasan light right transit (LRT) City Bekasi Timur- Eastern, Bekasi, Jawa Barat, pada 3 Februari lalu. Pertunjukan itu merupakan bagian dari perayaan rampungnya konstruksi atau topping off salah satu gedung apartemen di area tersebut.
Kisah Ramayana pada malam itu terasa spesial karena dikolaborasikan dengan permainan efek cahaya dari video mapping di area dinding fasad gedung 20 lantai itu. Efek-efek yang dihasilkan begitu variatif. Mulai dari istana, pegunungan hingga kobaran api. Berkat video mapping itu pertunjukan berdurasi 20 menit tersebut tidak membosankan.
Video mapping adalah sebuah teknik dalam pencahayaan atau proyeksi untuk menciptakan ilusi optis pada objek. Citra visual yang tercipta bisa berubah-ubah sesuai apa yang diproyeksikan.
Manajer Biro Pemasaran Departemen Transit Oriented Development (TOD) dan Hotel PT Adhi Karya Tbk Djoko Santoso tersenyum lebar karena pementasan yang disiapkan sekitar 2 bulan ini berjalan lancar. Para penonton yang notabene calon pembeli apartemen tampak terkesan dengan pertunjukan itu.
“Pertunjukan ini merupakan bagian dari apresiasi kami terhadap kesenian,” tuturnya.
Melalui pertunjukan ini, Djoko mengatakan, perusahannya ingin memberikan sesuatu yang berbeda pada kegiatan rampungnya proses konstruksi. Bila biasanya topping off hanya sebatas seremonial sederhana, maka dengan cara ini calon pembeli diharapkan bakal mendapatkan pengalaman unik.
Apa yang terjadi di Bekasi itu hanyalah satu dari sekian ‘demam’ video mapping di Tanah Air beberapa tahun belakangan. Para penyelenggara acara dan manajemen perusahaan seperti berlomba-lomba untuk menampilkan video mapping di kegiatan mereka.
Adi Panuntun, Chief Executive Officer dan Creative Head Sembilan Matahari mengatatakan, tren video mapping di Indonesia dimulai sejak 2008-2009. Saat itu banyak video jockey (VJ) yang memanfaatkan teknik pencahayaan tersebut tetapi dalam bentuk sederhana untuk menghiasi pertunjukan musik para disc jockey klub-klub malam di Jakarta dan Bali.
“Selain itu beberapa [penyelenggara acara juga] sudah mulai mengimplementasikan [video mapping] untuk promosi di dinding gedung yang menghadap ke tempat umum. Tetapi mungkin belum terekspos karena kendala cahaya proyeksi yang tidak terlalu kuat atau kalah dari cahaya-cahaya lain di sekitarnya,” tuturnya, Senin (12/2/2018).
Dia bercerita pada 2010 ketika berusaha merampungkan proyek tesis pascasarjana kuliahnya di salah satu kampus di Inggris, mendapat bantuan dana riset dari British Council Indonesia untuk bersama-sama dengan teman-temannya di Jakarta, Bandung, dan London membuat karya video mapping di Museum Fatahilah, Jakarta Barat.
“Itulah video mapping pertama yang berhasil merebut perhatian publik dan media [massa]. Setelah itu barulah mulai wacana tentang video mapping ini menjadi perbincangan,” tuturnya.
Sebagai catatan, Sembilan Matahari pernah menampilkan karya video mapping di Candi Prambanan dalam pegelaran Sendratari Roro Jonggrang di Candi Prambanan pada 2016. Selain itu mereka pernah menorehkan prestasi saat memenangkan Olimpiade Video mapping di Moskow, Rusia pada 2014.
Berkat kemampuannya menyajikan sesuatu yang atraktif, video mapping pun menjadi buruan penyelenggara acara. Adi mengamati hal tersebut muncul karena media tersebut lebih ‘cair’ dibandingkan media lainnya. Konten yang dibuat mudah dibentuk dan diimajinasikan.
Selain itu melalui video mapping, proyeksi video, animasi atau efek visual kini menemukan area eksplorasi baru dan otomatis pasar kebutuhan yang baru.
“Berkat perkembangan teknologi informasi teknologi dan audiovisual kini kami bisa menggunakan video atau film yang kami buat untuk bisa dipetakan mengikuti ragam bentuk dan memungkinkan menghadirkan keseruan dan pengalaman unik bagi pasar penontonnya,” ujarnya.
Tantangan
Dengan segala potensi yang dimilikinya, video mapping di Indonesia rupanya menghadapi sejumlah tantangan. Adi Panuntun mengatakan, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menciptakan ekosistem industri yang kolaboratif dan bukan kompetitif.
Tak dapat dipungkiri, ujarnya, video mapping adalah media baru. Sama halnya dengan fenomena digital media yang lain. Bidang ini pun memerlukan kerja lintas disiplin ilmu dan keahlian.
“Diharapkan semakin banyak insinyur-insinyur dan bidang-bidang nonseni atau desain yang semakin mau terlibat dan terbuka untuk bisa bekerja sama dengan seniman atau desainer video mapping ke depannya.”
Soal kualitas, Adi percaya level video mapping di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara-negara lain. Bahkan, pelaku video mapping Indonesia berada berada pada level yang setara dalam kemampuan penguasaan kreativitas dengan negara-negara lainnya. Namun diakuinya pelaku video mapping Indonesia masih kalah dalam penguasaan teknologinya.
“Sebab perangkat keras dan lunak hampir semuanya masih barang impor.”
Ditinjau dari sisi bisnis, peluang video mapping sangat terbuka. Asalkan pembuatnya mampu menciptakan kreativitas pada karya-karyanya. Semakin kreatif sebuah studio maka semakin terbuka pangsa pasarnya di dalam dan luar negeri. Begitu pun sebaliknya.
“Artinya, ke depan akan semakin dibutuhkan lebih banyak seniman atau desainer video mapping yang mampu dan mau bekerja secara kolaboratif untuk menghasilkan karya yang lebih kreatif.”