Apa yang ada di benak kita saat melihat orang sukses dan terkenal? Ada banyak kemungkinan jawaban. Kemungkinan paling banyak adalah kagum. Artinya, mereka kagum, bahkan terkesima karena melihat hasil dari buah perjuangan tokoh tersebut.
Akan tetapi, mungkin juga di balik kekaguman itu ada yang berpikir bagaimana bisa sampai pada life achievement yang paripurna itu.
Mereka berpandangan bahwa si tokoh yang sukses itu telah melewati kesulitan, kepahitan hidup, dan mungkin kesengsaraan. Ada juga yang beranggapan kesuksesan itu memang sudah menjadi suratan hidupnya.
Orang biasanya belajar dan mengambil hikmah dari kesulitan dan rintangan pelik dari tokoh sukses.
Namun, anggapan itu bisa jadi berbeda dengan si tokoh sukses tersebut. Sebaliknya, mereka justru menikmati, atau bahkan sengaja mencari kesulitan dan tantangan.
Ada cerita menarik, bagaimana Thomas Alva Edison bisa menikmati eksperimen sebelum menemukan lampu. Dia pun rela membawa 'tantangan' sampai ke kamar tidurnya.
Kegagalan sudah menyatu dalam keseharian. Bukan sekali dua kali, bahkan puluhan hingga ratusan kali. Sebaliknya, dia benar-benar menyatukan diri dengan segenap hati dan upaya untuk menggapai sukses.
Kisah Bruce Lee juga bisa menjadi inspirasi, seperti yang dicuplik dari artikel Insight edisi kali ini. Dia punya mimpi sangat besar untuk membawakan ilmu bela diri asal China kepada dunia. Persoalan demi persoalan dia alami. Demikian juga, penolakan demi penolakan. Pada awal 1970, misalnya Bruce Lee datang ke Warner Bros untuk memberikan ide film warrior yang akan dibintanginya. Warner Bros menolaknya. Bukan hanya ditolak. Idenya juga diambil. Bahkan, dibuatlah film seri Kung Fu yang lantas dibintangi oleh seorang bule, yakni David Carradine.
Kesuksesan film seri ini membuat Bruce Lee semakin kecewa tetapi tidak putus asa. Bruce Lee tidak patah arang. Ketika tidak berhasil di film seri, Bruce Lee malah berkesempatan main di film layar lebar. Justru itulah yang melambungkan nama besarnya.
Dengan kata lain, nampaknya ungkapan no pain no gain kurang tepat bagi mereka yang menyukai tantangan dan kesulitan. Mereka sengaja berkorban alias mencari pain demi mendapatkan gain.
Bagi mereka, masalah yang dihadapi adalah peluang. Memang tidak nyaman ketika berkawan dengan masalah. Tiada sukses yang tanpa menghadapi kendala dan kegagalan. Jika ingin meraih sukses harus melewati tantangan dan menjadi pemenang.
Kini, generasi milenial kelihatannya lebih memilih menghadapi tantangan ketimbang berada dalam kenyamanan. Mereka menikmati tantangan dan kesulitan. Dalam urusan pekerjaan, misalnya mereka begitu mudah berpindah-pindah.
Mereka lebih memilih sengaja berteman dengan ketidaknyamanan. Mereka cenderung mencari peluang dari setiap tantangan. Konon, mereka juga tidak ingin menunda kenikmatan karena mereka menikmati setiap apa yang dijalani. Mereka tidak mau ribet dengan ‘investasi’ jangka panjang.
Generasi milenial lebih memilih membeli pengalaman daripada menyimpan ‘harta’ untuk dinikmati kemudian. Berpetualang, jalan-jalan, dan menikmati makanan adalah cara lazim yang dilakukan demi menjajaki peluang bisnis masa depan.
Mereka adalah generasi yang suka ‘men-disrupsi-kan’ keadaan. Bagi mereka untuk mencapai kebahagiaan tidak harus tertekan, apalagi ‘menderita’. Mereka bereksperimen untuk membalikkan keadaan bahwa gain bisa juga digapai without pain.
Pendek kata, hidup bukan tentang pain versus gain tetapi bagaimana bisa berteman dengan kesulitan demi menggapai kebahagiaan. Orang yang happy dalah mereka yang bisa ‘menepi’ menikmati dan tahu cara menjalani kesulitan dengan suka cita.