Ilustrasi/Bisnis.com
Fashion

Putus Nyambung Saat Pacaran, Perlukah Konseling Pranikah?

Dewi Andriani
Jumat, 14 September 2018 - 00:00
Bagikan

Setelah 3 tahun menjalin hubungan, Liza dan Abyan akhirnya memutuskan untuk menikah karena desakan dari kedua orang tua. Namun, hubungan yang kerap putus nyambung selama berpacaran memunculkan keraguan pada benak Abyan untuk mempersunting kekasihnya tersebut.

Dia lantas mengajak Liza melakukan konseling pranikah karena baginya pernikahan merupakan hal yang sakral dan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Apalagi untuk merayakan pesta pernikahan tidaklah murah, banyak dana yang harus dikeluarkan. Karena itulah, pria 31 tahun tersebut harus memastikan bahwa pasangan yang dipilihnya sudah tepat.

Keinginan Abyan melakukan konseling pranikah juga berangkat dari pengalaman sahabatnya yang bercerai karena ketidakmampuan menghadapi berbagai konflik dan permasalahan bersama pasangannya, dari pacaran hingga berlanjut sampai jenjang pernikahan.

Dia tidak ingin kondisi tersebut menimpa dirinya dan pasangan, karena itulah mempersiapkan diri dan mental serta memastikan kecocokan bersama pasangan sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, mutlak dilakukan.

Psikolog anak dan dewasa dari RSIA Kemang Medical Care Tanti Diniyanti mengatakan saat ini mulai banyak pasangan yang melakukan konseling pranikah. Terutama pasangan yang cukup lama menjalin hubungan dan berencana menikah tetapi mulai ragu dan kurang yakin dengan pasangannya.

Namun, bukan berarti pasangan yang hubungannya baik-baik saja tidak membutuhkan konseling pranikah. Konseling tetap dibutuhkan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang dapat menurunkan tingkat kebahagiaan di kemudian hari.

Dalam proses konseling tersebut, akan ada banyak hal yang didiskusikan bersama pasangan terutama terkait dengan kesiapan mental dan emosi serta proses komunikasi di antara kedua pasangan. Sebab, hal-hal tersebut seringkali menjadi pemicu munculnya konflik.

“Salah satu tujuan konseling untuk melihat bagaimana kesiapan mereka secara mental, apakah kepribadiannya cocok, sudah nyambung cara ngobrolnya. Bisa jadi cara komunikasinya berbeda, kenapa berbeda, itu yang dipelajari dan diberi jalan keluarnya. Kalau itu bisa dipelajari satu sama lain maka bisa menghindari konflik berkepanjangan dan meminimalisir ketidakcocokan setelah menikah,” ujarnya.

Ini Poin-poin Permenhub 108 yang Dibatalkan MA

Dalam proses konseling tersebut, biasanya konselor atau psikolog akan mempertanyakan lebih jauh mengenai pola asuh yang diberikan oleh kedua orang tua, proses komunikasi dan budaya di dalam keluarga, relasi emosi yang terjalin antara anak–dalam hal ini pasangan—dengan orang tua.

Dari poin-poin tersebut, akan diketahui karakter yang terbentuk dari masing-masing pasangan. Jika karakter tersebut sudah diketahui dan dipahami sedari awal, kedua pasangan akan bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi ke depannya.

Selain itu, di dalam proses konseling juga akan dikupas lebih jauh mengenai gaya hidup, proses pengaturan keuangan hingga kebiasaan baik dan buruk dari pasangan. Jangan sampai kebiasaan buruk baru diketahui setelah menikah dan tidak dapat menerima perbedaan tersebut.

“Mau dilihat jeleknya saja atau mau dilihat perbedaan karakter dan kepribadian tersebut untuk bisa saling melengkapi. Penting juga mempelajari bagaimana menghadapi marahnya pasangan.”

Menurutnya konseling dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan. Biasanya dilakukan bersamaan sambil mempersiapkan pernikahan, setahun, enam bulan atau tiga bulan sebelum tanggal yang ditentukan.

Untuk biaya yang harus dikeluarkan pada setiap sesi konseling sangat tergantung dari masing-masing konselor. Jika bentuknya pelatihan dua hari dari pagi sampai sore biasanya berkisar antara Rp2 juta hingga Rp3 juta per orang. Namun, jika konseling dilakukan secara pribadi berdasarkan waktu sekitar 60 sampai 90 menit maka biaya yang dikeluarkan sekitar Rp600 ribu hingga Rp1 juta.

Perawatan Paliatif Tumbuhkan Harapan Penderita Kanker

Bagi pasangan jangan hanya melihat besar atau kecil biaya yang dikeluarkan tetapi bagaimana dampak jangka panjang yang akan dirasakan setelah konseling sebelum memutuskan untuk menikah dan mempertaruhkan kehidupan masa depan.

“Ada pasangan yang setelah konseling, mereka mulai berpikir ulang untuk memberi jarak dan saling introspeksi diri sebelum memutuskan menikah, ada juga yang merasa sulit untuk bersama dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan. Ada juga yang merasa semakin yakin, saling menerima dan terus belajar satu sama lain. Itu semua sangat tergantung dari masing-masing pasangan,” ujarnya.

Sementara itu, psikolog Dedy Susanto mengatakan konseling pranikah harus mendapatkan prioritas  karena ini merupakan imun bagi pasangan dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi di dalam pernikahan.

Di dalam proses konseling tersebut, konselor akan mendiagnosis kecocokan pasangan yang akan menikah. Akan ada sejumlah aspek yang mendapatkan perhatian dalam proses konseling tersebut.

Pertama, mengenai kesiapan mental dari pasangan untuk menikah. Apakah keduanya sudah siap dalam mengatur emosi atau ego nya masing-masing, terutama dalam menghadapi berbagai konflik atau ketidakcocokan. Jika dirasa belum siap, keduanya harus melakukan berbagai pembenahan diri.

Kedua, menganalisa kepribadian dari masing-masing pasangan. Dari analisa ini akan diketahui berbagai hal tersembunyi dari pasangan yang selama ini tidak disadari karena yang didiagnosis adalah kondisi alam bawah sadar. Apakah pasangan memiliki potensi melakukan kekerasan, perselingkuhan, atau memiliki orientasi seksual menyimpang.

Ketiga, melakukan observasi mengenai perasaan masing-masing pasangan. Apakah keduanya saling mencintai atau tidak. Hal tersebut akan terbaca dari bahasa tubuh, terutama micro expression.

“Menikah itu jangan hanya modal nekat, perlu adanya ikhtiar untuk meminta petunjuk dan masukan. Jika masih ragu untuk menikah atau belum cocok, silahkan cek ke konselor yang memang sudah mengetahui pola-polanya. Hal apa yang harus diperbaiki, bagaimana cara memperbaikinya dan mengatasi permasalahan. Jangan sampai ketika sudah menikah baru ribut, terluka batinnya, kasian anak jika orang tua harus bercerai,” tuturnya.

 

Penulis : Dewi Andriani
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro