Bisnis.com, JAKARTA -- Angka rasio usia harapan hidup di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2016, usia harapan hidup masyarakat Indonesia 69,1 tahun meningkat 0,6 tahun dibandingkan dengan 2012 yaitu 68,5 tahun.
Sementara itu, angka kematian anak usia di bawah 5 tahun mengalami penurunan secara signifikan begitu pula dengan angka kematian neonatal dari tahun 2003 ke 2017 juga menurun. Tidak dipungkiri penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi daya ungkit yang signifikan terhadap perluasan akses layanan kesehatan dan harapan hidup masyarakat.
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Maya Amiarny Rusady mengatakan hingga Oktober 2018 jumlah peserta JKN mencapai 203 juta jiwa atau lebih dari 80% dari total penduduk Indonesia. Ini menunjukan jaminan pelayanan kesehatan, termasuk kasus penyakit katastropik yang memerlukan biaya tinggi, komplikatif, dan riskan turut bertambah.
Baca Juga Hijup Buka Gerai Offline di Aceh |
---|
Salah satu penyakit katastropik yang membutuhkan biaya besar adalah penyakit gagal ginjal kronis (GGK) tahap akhir yang harus menjalani perawatan dialisis. Seperti diketahui bahwa pasien gagal ginjal tersebut harus menjalani prosedur dialisis sepanjang hidupnya sehingga biayanya pun terus membengkak.
Berdasarkan data dari JKN, biaya perawatan dialisis yang ditanggung JKN dalam 2 tahun terakhir meningkat dari Rp3,9 triliun pada 2016 menjadi Rp4,6 triliun pada 2017, menempati posisi kedua biaya perawatan tertinggi.
Besarnya biaya dialisis yang harus ditanggung, menjadi salah satu penyebab terjadinya defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jika defisit keuangan BPJS terus bertambah, dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan.
“Dengan semakin banyaknya peserta, penyakit tidak menular dan penyakit menular juga naik. Penyakit katastropik menyerap paling besar dana JKN, lebih dari 30% termasuk gagal ginjal. Sekarang yang menjadi PR besar bagaimana bisa menekan biaya tersebut tanpa harus mengurangi kualitas,” ungkapnya.
Dalam diskusi kebijakan yang dilaksanakan oleh Indonesia Health Economics Association (InaHEA) muncul tawaran untuk mencari layanan yang lebih efektif dan efisien bagi pasien gagal ginjal kronis, selain hemodialisis.
Budi Hidayat, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyatakan terdapat tiga terapi yang bisa dijalankan oleh pasien gagal ginjal. Yaitu hemodialisis, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan transplantasi.
Menurutnya, transplantasi merupakan terapi terbaik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal. Namun, sayangnya transplantasi ginjal masih sangat sulit dilaksanakan.
Saat ini sekitar 95% pasien melakukan perawatan melalui terapi hemodialisis yaitu cuci darah dengan menggunakan mesin khusus untuk menyaring darah menggantikan fungsi ginjal yang rusak.
Hanya 3% pasien gagal ginjal kronik yang menggunakan CAPD yaitu terapi cuci darah dengan menggunakan membran di dalam rongga perut sebagai pengganti fungsi ginjal khususnya dalam menyaring dan membuat racun dari dalam tubuh.
“Terapi CAPD ini lebih efektif dari segi biaya dan peningkatan kualitas hidup pasien dibandingkan dengan hemodialisis sehingga dapat digunakan untuk menekan defisit BPJS,” tuturnya.
Senada disampaikan Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia Aida Lydia yang menyebutkan bahwa CAPD merupakan alternatif terapi pengganti ginjal yang paling tepat untuk mengendalikan biaya kesehatan Negara.
Biaya untuk terapi CAPD sekitar 10% hingga 15% lebih murah dibandingkan dengan hemodialisis. Selain itu, CAPD juga lebih mudah dan fleksibel digunakan pasien gagal ginjal karena dapat digunakan kapan saja dan di mana saja, tidak harus di rumah sakit.
“Pasien bisa melakukannya sendiri tanpa memerlukan bantuan perawat seperti perawatan hemodialisis,” tuturnya.
TERBATAS
Namun sayangnya, penyedia CAPD di Indonesia masih sangat terbatas ditambah dengan belum siapnya sistem distribusi dan rendahnya edukasi baik kepada pasien maupun dokter sehingga pertumbuhan pasien CAPD masih sangat rendah.
“Kenyataan ini diperkuat dengan data IRR [Indonesia Renal Registry] yang baru diluncurkan Oktober 2018 bahwa pertumbuhan pasien CAPD dari tahun ke tahun hanya 8% sedangkan pasien hemodialisis per tahun mencapai 40% hingga 50%,” tuturnya.
Budi menambahkan bahwa rendahnya jumlah pasien yang menggunakan CAPD ini karena suplai cairan CAPD yang masih terbatas sehingga diperlukan adanya endorsement untuk menyediakan bahan bakunya.
Saat ini, Fresenius Medical Care sebagai penyedia masih menunggu registrasi cairan CAPD dikeluarkan oleh BPOM. Semakin cepat registrasi dikeluarkan oleh BPOM, akan semakin mudah para pasien mendapatkan produk tersebut.
Begitu pula dengan alatnya yang masih terbatas karena Indonesia masih belum mampu menciptakan sendiri sehingga masih harus diimpor. “Karena saat ini sosialisasi CAPD ini juga masih kurang di Indonesia.”
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, CAPD dapat memperpanjang fungsi ginjal sisa lebih lama. Selain itu, pasien memiliki angka survival (bertahan hidup) yang lebih tinggi dibandingkan hemodialisis khususnya pada dua tahun pertama setelah menjalani terapi pengganti ginjal.
Prosesnya pun lebih mudah karena dapat dilakukan secara mandiri tanpa harus datang ke pusat hemodialisis. Prosedur penggantian cairan dapat dilakukan di rumah, sekolah, tempat kerja atau tempat lainnya selama memiliki ruang yang memenuhi kriteria ruang pergantian cairan CAPD. Alhasil, pasien dapat lebih bebas beraktivitas seperti bekerja atau bersekolah tanpa harus menyediakan waktu khusus untuk datang ke pusat hemodialisis.