Bisnis.com, JAKARTA – Kulit hewan boleh dibilang masih menjadi primadona untuk bahan baku pembuatan aksesori pelengkap dalam berbusana, mulai dari ikat pinggang, topi, tas, jaket, hingga sepatu.
Bahkan, aksesori berbahan dasar kulit hewan memiliki predikat paling ekslusif lantaran harga selangit. Predikat tersebut pernah disematkan pada lini fesyen Hermes, label tas ternama berbahan dasar kulit buaya yang memiliki harga jual tinggi. Balai lelang Christie’s pernah telah melelang sebuah tas Birkin Himalaya kepada seorangkolektor dengan harga US$ 244.490.
Di sisi lain, berbagai keprihatinan terus disuarakan para aktivis lingkungan yang prihatin dengan penggunaan hewan sebagai bahan dasar produk fashion dan perlakuan yang kurang baik terhadap hewan-hewan tersebut.
People for The Ethical Treatment of Animals (PETA) sempat mengeluarkan investigasi soal pemanfaatan buaya oleh industri mode. Organisasi tersebut menganggap Hermes memperlakukan buaya-buaya yang hendak dijadikan bahan pembuatan tas dengan tidak semestinya.
Sayangnya, upaya edukasi dan pencegahan penggunaan kulit buaya untuk produk mode belum mampu meredam minat konsumen terhadap barang mahal tersebut. Bisa dibilang permintaan terus meningkat dan banyak merek-merek ternama terus berinovasi dengan kulit binatang. Salah satu strategi mereka adalah menggunakan bahan baku yang legal.
Misalnya saja, label ternama seperti Gucci, Saint Laurant, dan Alexander McQueen berupaya terhindar dari praktek illegal dalam pemanfaatan reptil dengan membangun peternakan ular piton. Menghentikan produksi aksesori dari bahan kulit reptil ibarat menghilangkan identitas kemewahan.
Strategic Leader Conservation Science Unit WWF Indonesia Thomas Barano mengatakan pemerintah telah mengatur, hanya kulit hewan dari budidaya yang diperbolehkan untuk menjadi bahan baku produksi. Pemerintah melarang penggunaan kulit satwa yang diambil langsung, kecuali keturunan kedua jika diindukan dari alam.
“Makanya dikontrol dengan sertifikasi untuk membuktikan bahwa itu [kulit satwa] dari hasil budidaya. Namun ada juga praktik abal-abal. Sepertinya ada kandang, tapi [hewanya] diambil dari alam. Jadi kesannya legal, padahal ilegal,” kata Thomas kepada Bisnis dikutip, Rabu (19/12/2018).
Lebih parah lagi, pebisnis yang tidak memiliki tempat budidaya dan nekat menangkap binatang dari alam.
Thomas menyimpulkan bahwa yang menjadi kunci untuk mengatasi praktik ilegal adalah di level pengawasan sistem budidaya yang tersertifikasi. “Produk pun ada sertifikasi, untuk barang yang legal,” katanya.
Untuk itu, menurutnya, perlu pembinaan dan pengawasan terhadap pelaku bisnis di industri ini. Pasalnya, selama ini pelaku usaha sangat tergoda dengan keuntungan yang tinggi dan biaya produksi yang kecil dengan praktik ilegal.
Hal ini mengingat sertifikasi untuk label produksi legal membutuhkan biaya tambahan, atau dapat mengurangi keuntungan. Ditambah lagi, budidaya binatang untuk keperluan produksi tak kalah mahal.
“Selain itu, kadang pembeli maunya harga murah, karena produk sertifikasi pasti mahal. Jadi selama ada demand barang dengan harga miring, maka pasar ada. Artinya, praktik abal-abal kemungkinan besar masih terjadi,” jelasnya.