Bisnis.com, JAKARTA – Gara-gara isu pajak mukena Syahrini yang harganya setara dengan smartphone Samsung Rp3,5 juta per potong, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan member penjelasan perihal pajak sebesar 10 persen atau Rp1,75 miliar dari omset sebesar Rp17,5 miliar.
Pajak sebesar Rp1,75 miliar itu dicuitkan akun Twitter Ditjen Pajak pada Rabu (29/5/2019).
Saat itu Ditjen Pajak mengigatkan bahwa omset mukena Syahrini sebesar Rp17,5 miliar dikenakan pajak 10 persen, sehingga pajak yang harus dibayar Rp1,75 miliar.
Cuitan Ditjen Pajak ini ramai diperbincangkan di media sosial dan mendapat reasi positif dan negatif dari warganet. Adapun seorang warganet yang mempersoalkan pajak mukena Syahrini itu antara lain mantan Ketua DPR Marzuki Alie.
“Syahrini bukan produsen dan bukan PKP, artinya saat beli dari produsen sdh dikenakan PPN. Syahrini tidak mungut PPN walaupun mukena adalah objek PPN. Darimana kok tau2 harus bayar PPN,” cuit @marzukialie_MA
Syahrini bukan produsen dan bukan PKP, artinya saat beli dari produsen sdh dikenakan PPN. Syahrini tidak mungut PPN walaupun mukena adalah objek PPN. Darimana kok tau2 harus bayar PPN
— Marzuki Alie Dr.H. (@marzukialie_MA) May 29, 2019
Persoalan pengusaha kena pajak (PKP) ini pun akhirnya dijelaskan Ditjen Pajak lewat akun Twitter @DitjenPajakRI pada Kamis (30/5/2019). Dijelaskan bahwa, pengusaha wajib mengukuhkan diri sebagai PKP apabila dalam suatu tahun buku peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp4.800.000.000,00.
Lalu, kapan kewajiban menjadi PKP itu ada? Nah, pengusaha wajib mengukuhkan diri sebagai PKP apabila dalam suatu tahun buku peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp4.800.000.000,00. #SekilasPPN
— #PajakKitaUntukKita (@DitjenPajakRI) May 31, 2019
Kemudian, DItjen Pajak juga menjelaskan perihal PPN sbeagai berikut:
Kapan PPN terutang? Ketika ada penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan yang melakukan penyerahan atau penjualan mukena itu adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pengusaha yang seharusnya sudah dikukuhkan sebagai PKP #SekilasPPN
— #PajakKitaUntukKita (@DitjenPajakRI) May 31, 2019