Bisnis.com, ANKARA - Bulan Ramadan menjadi inspirasi bagi World Hijab Day Organization menyelenggarakan Tantangan Ramadan. Mereka mengajak perempuan di seluruh dunia untuk mengenakan hijab demi memerangi islamofobia atau ketakutan pada Islam.
Ribuan perempuan memakai hijab selama Bulan Suci Ramadan untuk meningkatkan kesadaran mengenai penutup kepala buat perempuan dan mendidik orang mengenai memerangi Islamfobia, kata Nazma Khan, pendiri World Hijab Day Organization.
Dari Belarusia, Brazil, Kanada, Jerman, Malaysia, Selandia Baru, Inggris sampai AS dan di belahan lain dunia, perempuan ikut dalam Tantangan Ramadan kelompok tersebut untuk tahun kedua berturut-turut, kata Nazma Khan kepada Kantor Berita Turki, Anadolu.
"Dengan mengundang perempuan dari berbagai kepercayaan dan latar-belakang untuk memakai hijab, itu menormalkan hijab," kata Nazma. "Jadi, itu tidak lagi menjadi sesuatu yang tetap 'tak diketahui' yang sebagian orang mungkin tak takut atau memandangnya sebagai ancaman."
Nazma menyebutkan sebagian perempuan telah sangat terinspirasi sehingga mereka menerima tantangan itu dan bahkan bertindak lebih jauh dan memutuskan untuk berpuasa selama 29 atau 30 hari sebagaimana diwajibkan dalam Agama Islam.
"Buat saya, ikut dalam tantangan memakai hijab selama 30 hari dan berpuasa [maknanya] adalah sebelum kita menilai seseorang kita harus memahami proses berpikir, tantangan dan pengalamannya," kata Duta Besar World Hijab Day Organization Ashley Pearson kepada Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Minggu malam.
"Saya ingin mempelajari bagaimana rasanya buat orang lain dan memahami apa yang mereka hadapi," kata Pearson, yang tinggal di Arkansas.
Pearson bahkan datang ke satu masjid lokal dan berteman. Ia bergabung dengan mereka selama berbuka puasa, atau iftar, dan menikmati saat-saat mempelajari kebudayaan Islam.
"Saya puasa selama Tantangan Ramadan, dan sejauh ini saya kira itu baik buat saya," kata Pearson pada hari Ke-15 Ramadan.
"Itu mungkin menjadi agak sulit, tapi itu dapat benar-benar mengajarkan kamu disiplin diri sendiri," tambahnya.
"Banyak perempuan mengeluh bahwa ini penindasan, tapi saya tidak setuju sepenuhnya. Saya memandang hijab sebagai kebebasan, pembebasan," kata Siobhan Welch.
"Saya memiliki kendali mengenai siapa yang memandang saya, berapa sering mereka melihat saya. Saya memiliki kekuasaan atas tubuh saya, bukan orang lain," urai Welch.
"Berhenti dan berpikirlah sebentar sebelum kamu menghakimi saya," kata perempuan yang berusia 47 tahun tersebut kepada Anadolu Agency.
"Saya telah memakai hijab setiap hari selama lebih dari empat tahun sekarang. Ini bukan cuma perintah agama, sebab itu diharuskan oleh agama saya. Tapi saya merasa bahwa melakukannya memperlihatkan penghormatan, cinta, kerendahan hati di hadapan Tuhan."
Sania Rukhsar Zaheerudin, Muslimah, seorang Muslimah yang tercatat sebagai mahasiswi kedokteran dan biasanya tidak memakai hijab, ikut dalam tantangan itu dan memandangnya dengan cara yang persis sama.
"Di dunia tempat Islamfobia ada, ini seperti alat kekuatan buat perempuan Muslimah. Ini membantu kita menjadi lebih yakin, memberi kita pendapat secara global, menghilangkan ketakutan tidak diterima di masyarakat," kata Sania.
"Perempuan Muslimah kadangkala diproyeksikan sebagai tertindas, tertekan dan direndahkan oleh dunia zaman modern dan karena konsep Islamfobia menyebar seperti kebakaran hutan, penting buat kita, perempuan Muslimah, merasa sama dengan yang lain," Sania menambahkan.
World Hijab Day diluncurkan pertama kali pada 2013 untuk mendorong perempuan dari semua kepercayaan dan latar-belakang memakai hijab untuk mendukung perempuan Muslimah. Hari itu dirayakan setiap tahun pada 1 Februari.
Pada 2017, World Hijab Day Organization menjadi organisasi nirlaba dengan misi memerangi diskriminasi terhadap perempuan Muslimah melalui peningkatan kesadaran dan pendidikan, kata jejaring kelompok tersebut.