Bisnis.com, JAKARTA - Tegas dan keras sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. Terkadang dengan berdalih mengajarkan anak mengenai disiplin, orang tua menjadi telampau tegas sehingga yang muncul adalah tindak kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Keduanya memiliki konsekuensi buruk terhadap tumbuh kembang anak.
Psikolog dari Universitas Padjadjaran Dian Ibung menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian, sepertiga dari korban kekerasan akan tumbuh menjadi pelaku. Jika anak mengalami kekerasan sejak usia dini untuk waktu yang lama, dilakukan oleh orang terdekat dan bentuk kekerasannya berbahaya, biasanya si orang tua tidak memiliki informasi yang cukup untuk mendisiplinkan anak. Padahal mendisiplinkan anak tidak perlu dilakukan dengan kekerasan.
Dian mengatakan, anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan kemungkinan besar akan tumbuh menjadi orang tua pelaku kekerasan pula. Sehingga yang timbul adalah lingkaran setan kekerasan dalam keluarga.
"Dampaknya apa? kekerasan tentu menimbulkan cedera fisik, dan kedua cedera psikis," kata Dian.
Anak-anak yang terbiasa menerima kekerasan dari lingkaran keluarga biasanya tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri. Kekerasan yang dilakukan kepadanya secara psikis telah menggerus harga dan kepercayaan dirinya, tepat ketika masa keemasan pengembangan diri tengah berlangsung. Selanjutnya, mereka juga cenderung akan menjadi orang yang mudah berbohong dan tidak memiliki pemahaman akan nilai baik dan buruk dalam dirinya.
Dian melanjutkan, kekerasan pada anak umumnya diawali dari peristiwa orang tua menegur mengenai suatu hal. Si anak terkesan tidak mendengarkan dan menuruti perkataan orang tua, dan timbullah amarah. Menurut Dian, orang tua tetap harus tegas dalam menegur anak, tetapi tutur kata yang digunakan harus tetap mengandung kasih sayang.
"Kedua, katakan yang Anda inginkan dari anak. Jadi tidak usah menyuruh anak apa yang harus dia hentikan, tetapi apa yang harus dia lakukan," lanjutnya.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya reward and punishment. Hargai dan beri pujian jika anak melakukan sesuatu yang baik dan sesuai arahan orang tua. Sebaliknya, jika anak belum mau untuk melakukan hal yang disarankan, berikan hukuman yang masuk akal. Misalnya, anak tidak boleh melanjutkan bermain jika belum merapikan mainan yang berserakan di lantai.
"Kasih dulu waktu dia menjawab, bukan melawan ya. Hargai perasaan anak, pada saat kita memberi kesempatan menjawab, akan keliatan kita kasih respek," katanya.
Jangan lupa juga untuk melibatkan anak dalam setiap penyelesaian masalah. Ajak anak berpartisipasi mencari solusi, terutama jika terkait dengan masalah yang disebabkan anak.
Kekerasan juga erat kaitannya dengan membentak dan memarahi anak. Saat orang tua membentak anak, kekerasan yang timbul adalah bersifat verbal.
Psikolog anak Vera Itabiliana mengatakan, membentak adalah tindakan yang tidak perlu dilakukan karena tidak ada gunanya, baik bagi orang tua maupun anak. Dengan membentak, anak tidak akan mengerti maksud orang tua, justru hal itu menjadikan orang tua lelah dan energi terbuang. Di lain sisi, membentak juga merusak hubungan orang tua dan anak.
"Timbul takut dan cemas pada diri anak sehingga, hubugannya dengan orang tua kurang hangat dan dekat, cenderung menutup diri, sehingga yang kita maksudkan tidak akan sampai," katanya.
Ketika anak merasa cemas karena bentakan-bentakan yang diterimanya, kemampuan dan kemauannya untuk mencoba hal-hal baru akan meredup. Sehingga hal itu akan menganggu masa tumbuh kembangnya.
Menghindari hal-hal tersebut terjadi pada diri anak, orang tua perlu melatih diri untuk mengungkapkan amarah tidak dengan cara membentak.
"Sebenarnya cukup bilang saja, 'bunda marah, bunda tidak suka', seperti itu anak akan mengerti daripada membentak," lanjutnya.