Bisnisom, JAKARTA — “Horeee…ra sido mati,” kelakar Butet Kartaredjasa sepulang dari perawatan di rumah sakit.
Ra sido mati artinya tidak jadi meninggal dunia. Adik Butet, Djaduk Ferianto membagikan cerita itu melalui akun Instagram miliknya sekitar akhir Maret 2019. Melalui akun media sosialnya itu, Djaduk menceritakan bahwa kakaknya baru saja tiba dari Jakarta pascapemasangan ring yang disebutnya 4+1 ring karena serangan jantung.
“Oh…kok kementhus tenan kowe [bergaya benar kamu], afwuuu ki,” balas Djaduk kepada sang kakak dengan kelakar yang tak mau kalah.
Djaduk lantas mengucap rasa syukur atas pulihnya Butet.
“Terima kasih Tuhan yang telah menemani Butet sampai akhirnya bisa kembali berkumpul dengan keluarga besar di Jogja. Terima kasih pada semua yang telah mendoakan akan kesembuhan Kangmasku Butet. Sekali lagi terima kasih Tuhan. Berkah Dalem,” tulis Djaduk yang juga menunjukan foto dirinya memeluk kakaknya, Butet.
Saat itu, Butet terkena serangan jantung ketika tampil di pementasan teater 'Kanjeng Sepuh' di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Butet sempat menjalani perawatan beberapa hari di RS Saint Carolus.
Djaduk Ferianto yang bernama lengkap RM. Gregorius Djaduk Ferianto merupakan salah satu putra dari seniman kondang almarhum Bagong Kussudiardja.
Bersama kakaknya Butet, Djaduk terjun ke dunia seni mewarisi darah keluarga besarnya. Kalau Butet Kartaredjasa lebih dikenal sebagai seniman monolog, Djaduk memilih jalur seni musik meski mengenyam pendidikan seni rupa.
Sering keduanya tampil bareng. Butet sebagai pemain utama, Djaduk sebagai penata musik. Kadang, Butet sebagai sutradara, Djaduk didaulat akting menjadi pemain.
Panggung hiburan Ibu Kota seperti pertunjukan rutin Indonesia Kita, tak lepas dari kolaborasi kakak beradik tersebut.
Saya pernah sekali bertemu dengan Djaduk Ferianto saat press conference jelang pertunjukan Jazz Gunung pada Juni 2011.
Saat itu, kelompok musik pimpinan Djaduk Ferianto, Kua Etnika menjadi salah satu pengisi acara. Butet, didaulat sebagai host acara.
Satu kelakar Djaduk yang saya ingat ketika bercerita tentang Jazz Gunung di kawasan Taman Nasional Bromo itu adalah soal fesyen para penonton.
“Pokoknya semakin malam, fashion-nya semakin lengkap. Semuanya tertutup, mulai tangan, kaki, sampai kepala,” katanya karena penonton harus melawan suhu dingin di kawasan Bromo.
Setelah pertemuan sesi press conference Jazz Gunung itu, saya lebih sering menjadi penikmat hiburan kakak beradik yang kocak itu.
Terakhir, pertunjukan Butet dan Djaduk yang saya lihat adalah pentas Teater Gandrik berjudul Hakim Sarmin di Taman Budaya Yogyakarta.
Seperti biasa, keduanya melakukan kolaborasi. Butet sebagai pemain utama, Djaduk saat itu menjadi sutradaranya.
Hari ini, kabar duka datang dari Bantul, Yogyakarta. Djaduk Ferianto berpulang dalam usia 55 tahun. Dari informasi, Djaduk meninggal karena serangan jantung.
Dikutip dari situs Kelola.or.id, Djaduk merupakan salah satu penggerak festival jazz Ngayogjazz di Yogyakarta sejak 2007 dan Jazz Gunung Bromo sejak 2009. Djaduk meninggal dunia hanya beselang 3 hari sebelum festival jazz Ngayogjazz dimulai pada 16 November 2019 di Godean, Yogyakarta.
Jenazah Djaduk disemayamkan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo dan akan dikebumikan di makam keluarga Sembungan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Selamat jalan Mas Djaduk.