Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mempercepat pencegahan stunting. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan percepatan pencegahan stunting dalam periode lima tahun ke depan (2020-2024).
Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting 14 persen hingga 2024. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul.
Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk melakukan perbaikan gizi dan mencapai target pengentasan stunting adalah dengan melakukan fortifikasi pangan atau pengayaan zat gizi mikro pada bahan makanan.
Deputi Bidang Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan garam menjadi bahan makanan yang dilakukan fortifikasi. Fortifikasi garam dilakukan untuk menambah gizi garam dengan zat yodium.
Hal tersebut sesuai dengan amanat Kepres No.69 tahun 1994 tentang pengadaan garam beryodium yaitu garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan.
Saat ini, lanjutnya, jenis garam yang menjadi perhatian pemerintah adalah garam indikasi geografis (IG). Garam IG adalah jenis garam yang digunakan untuk konsumsi, kecantikan dan industri dan tidak ditambahkan zat fortifikan karena akan mengurangi keasliannya. Garam IG turut berkontribusi dalam perekonomian masyarakat dan pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Beberapa jenis garam IG yang ada di Indonesia adalah Garam Amed Bali, Garam Gunung Krayan, dan Garam Kusamba. Saat ini garam IG tersebut sudah dijual ke pasar skala internasional dan high end supermarket dengan harga jual yang tinggi dan berdampak terhadap pendapatan para petani garam di Bali dan Kalimantan Utara.
Sayangnya, garam IG tidak termasuk dalam salah satu klaster garam yang terdapat dalam Permenperin Nomor 88/2014 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Garam.
Dia mengatakan garam IG memiliki pengaturan dan pengawasan khusus, tetapi hal ini bertentangan dengan Kepres 69/1994 tentang pengadaan garam beriodium. Hal tersebut juga bisa menyebabkan hambatan percepatan pencegahan stunting.
"Izin edar untuk garam IG, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) membutuhkan payung hukum yang tepat agar tidak bertentangan dengan percepatan pencegahan stunting melalui fortifikasi garam," terang Agus dalam keterangan tertulis dikutip Minggu (8/3/2020).
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani menyampaikan ada alternatif yang bisa diterapkan pemerintah untuk mensiasati garam IG sebagai garam konsumsi.
Keputusan peredaran Garam IG dilakukan dengan pengaturan pelabelan Garam IG, yaitu wajib mencantumkan informasi tidak beriodium dan tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh Ibu Hamil, Ibu Menyusui dan Balita.
"Penetapan produk IG selanjutnya yang merupakan produk yang ditetapkan sebagai media fortifikasi wajib selaras dengan ketentuan aspek keamanan dan mutu pangan, serta mempertimbangkan isu stunting di wilayah terkait," terang Reri.
Untuk itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) perlu melakukan kajian kembali terhadap peraturan terkait garam agar aturan yang dihasilkan dapat dijalankan.
Agus melanjutkan, penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait garam termasuk mengatur garam IG perlu dilakukan. Sehingga peraturan baru ini dapat menjadi acuan peredaran dan pengawasan garam di Indonesia.