Musisi neotradisional Gilang Ramadhan (dari kiri), Ivan Nestorman, dan Gazpar Araja saat tampil dalam acara #Kamisantuy di kantor redaksi Bisnis Indonesia, Jakarta, Kamis  (27/2/2020). Meski perjuangan musik daerah (etnis) untuk menembus pasar nasional terbilang berat, namun Gilang dan Nestroman secara konsisten tetap membawakan aliran musik dengan tradisi dan bahasa lokal itu melalui grup Nera, dan berharap musik etnis dikenal dengan skala yang lebih luas. Bisnis/Arief Hermawan P
Entertainment

Ini Strategi Kemenparekraf Bangkitkan Industri Musik Tanah Air

Desyinta Nuraini
Senin, 9 Maret 2020 - 16:45
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengklaim tengah berupaya membangkitkan industri musik di Tanah Air di tengah era digitalisasi.

Kepala Subdirektorat Industri Kreatif Seni Musik dari Direktorat Industri Kreatif Musik, Seni Pertunjukkan, dan Penerbitan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Mohammad Amin mengatakan pihaknya tengah menyiapkan platform big data musik yang akan diefektifkan pada tahun ini.

Bernama Portamento, platform ini berisi daftar semua karya musik di Indonesia beserta informasi mengenai penciptanya baik nomor pokok wajib pajak (NPWP), hingga nomor rekening untuk mempermudah pengguna membayarkan royalti.

"Portamento nanti akan dihubungkan misal ke Spotify. Dia platform tersendiri pakai teknologi blocking. Kita hitung berapa kali berapa lagu diunduh. Si pengguna lagu bayar royalti di situ sehingga monetisasinya lebih gampang," jelasnya.

Namun memang, revisi UU Hak Cipta diperlukan untuk mengatur pembayaran royalti lainnya seperti penggunaan lagu di tempat karaoke, restoran, maupun konser. "Mudah-mudahan dengan Portamento, memperbarui Undang-Undang Hak Cipta bisa antisipasi zaman digital," tegas Amin.

Dia menjelaskan, pemerintah saat ini serius dalam memandang sektor musik. Pasalnya sektor ini mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Apalagi industri musik dianggap menjadi salah satu solusi mengatasi bonus demografi yang diprediksi melonjak pada 2030 mendatang.

Dari data terakhir yang dicatat Badan Ekonomi Kreatif sebelum dilebur menjadi Kemenparekraf, pada 2016, subsektor musik memiliki persentase terbesar pada kelompok omset hingga Rp300 juta, yaitu sebesar 94,56 persen.

Namun musik menjadi subsektor yang memiliki persentase jumlah usaha terkecil untuk kelompok pendapatan di atas Rp300 juta sampai dengan Rp2,5 miliar, yakni 4,72 persen. Sementara itu, pada 2017, kontribusi musik pada PDB ekonomi kreatif sekitar Rp4,89 triliun.Jumlah ini terbilang kecil dan perlu dimaksimalkan.

Amin mengaku kementeriannya tengah menyusun siasat agar industri musik tanah air berkembang dan memberi kontribusi lebih kepada pendapatan negara dan juga pelakunya secara khusus. Selain membuat bank data, Kemenparekraf akan mengekspansi dangdut ke pasar internasional. Dia menerangkan dangdut merupakan musik hibrida yang dibentuk di Indonesia namun ada unsur Melayu, India hingga Arab.

"Kita ikutkan ke festival musik di negara yang menerima dangdut. Pasar Indonesia juga besar. Rencana kita juga akan ekspansi ke Jepang selain Asia Tenggara," bebernya.

Bukan hanya dangdut namun juga musik asli Indonesia lainnya tak terkecuali campursari. Selain melakukan ekspansi, Kemenparekraf ingin memandang perlu adanya program popchestra. Yakni mendekatkan musik orkestra ke masyarakat dengan memadukannya dengan musik pop.

Program lain yang ingin digalakkan yakni world music sebagai istilah untuk menamakan musik-musik baru yang berakar dari musik tradisi. Di Indonesia, baru Bali yang menerapkannya. Nuansa musik Bali langsung terdengar ketika memasuki bandara, restoran, atau toko.

Kata Amin, world music cocok dikembangkan di daerah-daerah destinasi pariwisata karena akan menghidupkan musisi lokal, menjadikan musik tradisi setempat sebagai sumber penciptaan musik baru.

Pada saat yang sama, akan mengisi kebutuhan atraksi seni pertunjukan yang dibutuhkan di daerah wisata. World music menurutnya akan mengisi ruang-ruang bunyi festival, bandara, restoran, dan publik area lainnya.

Dia membayangkan seluruh daerah yang menjadi destinasi wisata menerapkannya. "Misal di Labuan Bajo datangkan komposer urban digital akademik, berkolaborasi dengan komunitas yang berbasis plural tradisi dan komunal kemudian bisa tercipta karya baru. Kita perlu FGD (forum group discussion) dengan semua pihak," tambah Amin.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro