Bisnis.com, JAKARTA – Hingga Senin (16/3/2020), RSPI Sulianti Saroso mencatat ada 981 orang dalam pemantauan atau ODP yang memeriksakan diri ke posko pemantauan RSPI Sulianti Saroso. Angka ini naik tajam jika dibandingkan Jumat (13/3/2020) yang mencapai 731 ODP.
Selain itu, sampai Senin RSPI telah merawat inap 48 orang. Dengan perincian 33 orang pasien dalam pengawasan (PDP), 12 telah dinyatakan positif virus Corona baru atau Covid-19, dan tiga meninggal dunia.
Jika hanya terfokus pada pertambahan pasien positif Corona atau pasien meninggal dunia, masyarakat akan dicekam kekhawatiran bahkan bisa menjadi panik.
Padahal, di luar itu, masyarakat mesti memahasi seperti apa virus Corona, mengapa menyerang manusia, dan bagaimana tubuh bisa menciptakan antibody untuk melawan virus Corona.
Menurut virolog atau ahli virus Mohammad Indro Cahyono, virus COVID-19 tidak seberbahaya yang dipandang orang.
Sebagai virolog yang sudah menangani puluhan jenis virus dan wabah penyakit sebelumnya, Indro mempelajari sifat, cara kerja, penyebaran, penularan, reaksi tubuh dan sistem kekebalan, serta pathogenensis (perjalanan penyakit).
“Virus COVID-19 tidak mengerikan, masalah utama dari wabah COVID-19 adalah ketidaktahuan dan kepanikan,” ujar Indro sembari mencontohkan kasus di lingkungan pasien 01 dan 02 beberapa waktu lalu.
“Warga, suspect, pasien yang dinyatakan positif semua dalam kondisi sehat, tapi mengalami intimidasi dari banyak pihak di luar komplek akibat kepanikan dan ketakutan akan penularan COVID-19,” tutur Indro.
Oleh karena itu, Indro menilai tidak ada tindakan yang lebih tepat selain langsung menenangkan rakyat di pusat outbreak site pertama itu.
Indro menyebutkan Coronavirus atau virus Corona jenisnya sangat banyak dan spesifik tiap spesiesnya.
“Coronavirus jenis tertentu hanya bisa menginfeksi spesies tertentu juga, misal coronavirus di kelelawar hanya menginfeksi kelelawar, bukan manusia. COVID-19 hanya menginfeksi manusia, bukan kelelawar,” paparnya.
Meski demikian, lanjut Indro, bentuk mereka memang mirip, “dengan perbedaan pada ujung protein S (Spike) yang disebut RBD (Receptor Binding Domain) yang menyebabkan coronavirus hewan hanya untuk hewan dan COVID-19 ya hanya untuk manusia.”
Mengapa COVID-19 hanya terjadi pada manusia?
Menurut Indro, itu terjadi karena manusia punya reseptor ACE2 (Angiotensin Converter Enzyme type 2) yang membuat bagian RBD virus CoVid19 atau COVID 19 bisa menempel dan menginfeksi manusia.
"Hewan enggak punya ACE2, jadi enggak terpengaruh," ujarnya.
Apakah COVID-19 berpotensi menambah kefatalan kondisi pasien yang terinfeksi, misalnya karena sebelumnya sudag mengidap pneumonia atau kondisi sejenis?
Terkait hal itu, Indro menyebutkan ada kelompok yang masuk dalam kelompoh risiko tinggi atau High Risk Group (HRG). Adapun kriterianya adalah:
- Usia lanjut
- Memilik gangguan sistem kekebalan
- Memiliki penyakit gangguan saluran pernapasan
- Ada komplikasi penyakit lain
Indro mewanti-wanti agar soal high risk group (HRG) dipahami terlebih dahulu.
Apa yang terjadi jika HRG terinfeksi virus Corona?
Menurut Indro pada HRG, COVID-19 akan menimbulkan radang dan merusak sel saluran pernapasan. Saat saluran pernapasan sudah pada HRG terlanjur rusak, maka ketika ditambah infeksi COVID-19 kondisinya akan lebih parah lagi,
"Kerusaka. saluran pernapasan pada HRG bisa karena usia atau karena memang saluran pernapasannya rusak akibat gangguan kronis, misalnya bronchopneumonia menahun, TBC, asthma, dl," ujar Indro sembari mengingatkan pasien nomor 25, seorang WNA, yang telah meninggal dunia.
"HRG di lokasi terpapar COVID-19 akan memiliki risiko terkena efek yang lebih berat dibanding yang normal," ujarnya,
Lantas apa yang terjadi pada orang-orang diluar kelompok berisiko tinggi?
Menurut Indro, saat COVID-19 memasuki tubuh orang yang tidak masuk kategori HRG, maka reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
- Hari pertama muncul gejala bersin
- Hari kedua muncul gejala pilek
- Hari ke 3 sampai 6 pasien menderita deman karena virus mulai masuk ke tubuh dan saluran pernapasan serta menimbulkan radang..
- Selanjutnya, pada hari ke 7, antibodi mulai keluar dalam tubuh pasien non-HRG
- Hari ke 8 sampai 14, antibodi mulai bekerja menetralkan virus
- Hari ke 14, virus habis, dinetralkan sàat produksi puncak antibodi, dan pasien sembuh.
Berapa besar peluang pasien sembuh atau meninggal dunia?
Indro menyebut angka kematian berada di angka 3 persen. "Sisanya, 97 persen tidak meninggal, bahkan lebih dari 50 persensembuh total. Mereka sembuh walau tanpa vaksinasi, toh vaksinnya memang belum jadi.
Hitungan 3 persen mortality itu menurut Indro merupakan hitungan internasional sesuai fakta.
"Jumlah korban meninggal dibagi jumlah pasien terkena infeksi dikali 100 persen akan ketemu di 3 persen," ujar Indro saat berbincang pada Jumat (13/3/2020).
Lantas mengapa pasien non-HRG bisa sembuh sendiri?
Indro menyebut soal siklus infeksi dan respons tubuh menghasilkan antibodi.
"Ingat prinsip respons kekebalan tubuh lewat antibodi, ingat hari ke 7 dan 14 seperti yang saya deskripskan," ujar Indro.
Saat ditanya apa yang bisa memperkuat antibodi, Indro menyebut konsumsi vitamin E dan C serta madu dapat meningkatkan produksi antibodi.
Sementara, saat hal ini dikonfirmasikan Bisnis.com ke seorang dokter di Bandung disebutkan bahwa pada dasarnya semua vitamin bermanfaat untuk meningkatkan antibodi. Di sisi lain ia menjelaskan bahwa vitamin E tidak ada yang merupakan dosis tunggal, ada juga yang merupakan gabungan dengan vitamin C.