Joko Anwar/Youtube
Entertainment

Joko Anwar Ingatkan Pentingnya Melestarikan Industri Film Indonesia

Nirmala Aninda
Selasa, 26 Mei 2020 - 14:07
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Industri film unggul dalam menjual mimpi. Mimpi yang bisa membawa penonton masuk dalam tiap adegan dan tempat indah.

Namun, sejak awal revolusi digital, ada satu narasi yang secara konsisten dan mencolok gagal mereka jual: bahwa pembajakan adalah bentuk pencurian dan konsumen yang menyalahgunakan konten film harus merasa bersalah karenanya.

Sutradara Joko Anwar menyuarakan hal serupa, di mana menurutnya perilaku pembajakan film telah merugikan sineas dan berisiko tinggi bagi ekosistem industri film Indonesia.

Dalam sebuah utas yang dia unggah melalui akun twitternya pada Minggu (24/5), sutradara film 'Perempuan Tanah Jahanam' itu menuturkan seperti apa proses produksi film dan alasan mengapa menonton film secara ilegal dapat berakibat buruk untuk industri perfilman.

"Secara ekonomi, ketersediaan film di situs bajakan atau toko bajakan mengurangi penonton yang membayar. Keuntungan yang dihasilkan pembajak baik uang langsung atau karena traffic orang yang mengunjungi situsnya, itu larinya bukan ke pembuat film, tapi ke pembajak," tulisnya, seperti dikutip Selasa (26/5).

Pada dasarnya produksi film pasti akan melewati beberapa tahapan di mana ide dapat muncul dari dua sumber yakni sineas atau rumah produksi, sebelum kemudian para investor (executive produser) mengeksekusi proyeknya.

Setelah proses produksi selesai, film kemudian akan didistribusikan ke berbagai saluran seperti bioskop, home videos (DVD dan Blu-Ray), atau layanan video on demand seperti Netflix, iFlix, Goplay, dan sebagainya.

Joko menjelaskan fakta bahwa pembajakan film adalah alasan utama mengapa bisnis home videos di Indonesia mati total, apalagi sekarang jenis layanan VOD lebih diminati.

Dia menggaris bawahi, pasar DVD dan Blu-Ray masih berkembang di negara-negara Amerika dan Eropa. Sayangnya, pangsa pasar film Indonesia belum seluas itu sehingga sineas maupun rumah produksi masih sangat bergantung pada pasar domestik.

Dia menambahkan bahwa saat ini, perusahaan film di Indonesia hanya bisa mengandalkan bioskop dan menjual film mereka ke layanan VOD untuk balik modal atau sekadar bertahan hidup.

Biaya berlangganan yang dibayarkan setiap bulan oleh pengguna VOD akan menjaga bisnis streaming platform tetap beroperasi dan sebagai modal untuk membeli film agar perusahaan film tetap bisa berproduksi dan menggaji kru serta pemain film.

Menurutnya hanya dengan keberadaan 'paying customer' industri film Indonesia dapat terus berlangsung.

"Akhirnya, tentunya semua terserah Anda. Yang pasti, bukankah agama ngajarin supaya berlaku adil? Jangan ambil sesuatu yang jadi hak orang lain? Walaupun nggak percaya agama, kita pasti masih punya nurani. Tegakah kita senang-senang atas usaha orang lain?" tutupnya.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro