Bisnis.com, JAKARTA -- Persatuan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa tingkat elaparan dan kekurangan gizi meningkat di seluruh dunia setelah krisis virus corona mendorong lebih banyak orang ke dalam kemiskinan dan membatasi akses diet sehat.
Laporan terbaru PBB menunjukkan bahwa hampir 690 juta orang kekurangan gizi sepanjang tahun lalu, angka terbesar sejak 2009, dan pandemi ini dapat menyebabkan sekitar 132 juta orang kelaparan pada tingkat yang kronis pada akhir tahun ini.
“Pandemi menciptakan masalah bukan ketersediaan makanan, tetapi akses makanan, karena orang akan memiliki pendapatan lebih sedikit karena resesi,” kata Maximo Torero, kepala ekonom Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, yang turut menulis laporan ini, seperti dikutip melalui Bloomberg, Selasa (14/7).
Semakin banyak orang yang beralih ke makanan yang lebih murah dan kurang sehat, yang dapat meningkatkan tingkat kegemukan dan obesitas, tambahnya.
Perubahan iklim, konflik dan penurunan ekonomi telah memperburuk krisis kelaparan dalam beberapa tahun terakhir, dan wabah belalang gurun yang merusak tanaman, khususnya di Afrika, telah merusak prospek ekonomi tahun ini.
"Itu berarti dunia tidak akan mencapai target untuk menghapus kelaparan pada tahun 2030," kata PBB, menyerukan pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih serius dari sebelumnya untuk mengatasi masalah tersebut.
Kebanyakan orang yang kekurangan gizi tinggal di Asia, meskipun jumlahnya tumbuh tercepat di Afrika. Jika tren berlanjut, mereka yang terkena dampak kelaparan di seluruh dunia akan melampaui 840 juta pada tahun 2030, angka yang terakhir terlihat pada tahun 2004, menurut data PBB.
Laporan Keamanan Pangan dan Gizi Negara PBB diproduksi bersama oleh FAO, Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian, Program Pangan Dunia, Unicef dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Badan-badan tersebut secara substansial merevisi estimasi tingkat kelaparan setelah menerima data yang lebih akurat dari negara-negara termasuk China.
Meskipun masih terlalu dini untuk menilai menyeluruh dari lockdown dan langkah-langkah penanganan virus lainnya, 83 juta hingga 132 juta orang lainnya mungkin akan kelaparan tahun ini karena resesi ekonomi global.
"Mengatasi dampak Covid-19 pada kelaparan dan gizi akan membutuhkan tambahan US$10 miliar dalam pengeluaran pemerintah tahun ini," menurut para peneliti termasuk International Research Policy Policy Institute.
Tahun lalu, data PBB menunjukkan sekitar 2 miliar orang kekurangan akses reguler ke makanan yang aman, bergizi, dan mencukupi.
Makanan sehat seperti buah, sayuran, dan protein tidak terjangkau oleh lebih dari 3 miliar orang, tantangan ini akan meningkat seiring dengan krisis yang dipicu pandemi Covid-19.
Pola makan yang buruk juga akan menambah kerugian triliunan dolar dalam dari dampak yang terjadi pada kesehatan dan lingkungan.
"Kita harus benar-benar bertindak cepat dan membantu populasi yang paling rentan melalui langkah-langkah seperti program jaring pengaman sosial, pengiriman makanan atau transfer tunai," kata Torero.
Laporan PBB itu jgua menyerukan perubahan bagaimana makanan diproduksi untuk memungkinkan diet sehat yang lebih murah dan lebih mudah diakses.
"Untuk melakukan ini, inovasi dari bisnis diperlukan dan pemerintah harus berinvestasi dalam pemenuhan nutrisi masyarakat atau memperluas program perlindungan sosial untuk rumah tangga termiskin," Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore mengatakan melalui webcast pada Senin (13/7).
Sorotan lain dari laporan ini:
- Obesitas pada orang dewasa, yang berjumlah 13% dari populasi pada tahun 2016, dianggap sebagai 'pandemi' global.
- Tahun lalu, 21% anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting, 6,9% terlalu kurus dan 5,6% kelebihan berat badan.
- Biaya kesehatan terkait diet yang dikaitkan dengan kematian dan penyakit tidak menular diproyeksikan melebihi US$1,3 triliun per tahun pada tahun 2030.
- Kerugian sosial dari emisi gas rumah kaca terkait dengan diet manusia saat ini diperkirakan lebih dari US$1,7 triliun per tahun pada tahun 2030.
- Diet yang lebih sehat akan memangkas biaya kesehatan secara langsung dan tidak langsung sebanyak 97% dan kerugian dari emisi karbon sebanyak 74% pada dekade mendatang.