Bisnis.com, JAKARTA – Upaya menekan angka perokok anak di bawah umur melalui kenaikan cukai rokok ternyata masih harus melalui tantangan yang besar. Sejauh ini kenaikan cukai rokok belum berdampak pada penurunan yang signifikan terhadap jumlah perokok Indonesia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2019 lalu, dikutip Minggu (25/10/2020), Indonesia masih menjadi negara dengan angka perokok tertinggi. Tercatat terdapat 85 juta perokok di Indonesia.
Selain itu, menurut data Riskesdas 2018, prevalensi perokok di Indonesia pada usia 10 tahun dan lebih tua masih bertengger pada angka 28,8 persen dari tahun sebelumnya 29,3 persen.
Kondisi ini mengisyaratkan sejumlah langkah yang ditempuh pemerintah menurunkan prevalensi merokok belum signifikan.
Kenaikan cukai rokok menjadi 23 persen tahun ini, dari sebelumnya pada 2009 lalu yang hanya 7 persen, ternyata juga belum sepenuhnya membuahkan hasil.
Menurut Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Nur Hadi Wiyono kenaikan cukai rokok sebagai kebijakan pengendalian jumlah perokok di Indonesia masih berada di bawah standar global.
Padahal, jika mengacu rekomendasi dari World Health Organization (WHO), besarnya cukai minimal adalah 66 persen dari semua jenis rokok.
Sementara di Indonesia, tarif cukai 57 persen, lebih rendah dari dari rekomendasi WHO.
“Memang sebenarnya kalau mengacu dari rekomendasi WHO, menaikkan cukai itu cara efektif menurunkan prevalensi perokok,” ujarnya.
Faktanya, beberapa negara lain dengan aturan cukai rokok yang tinggi dan pengawasan yang ketat berhasil menurunkan prevalensi perokok kurang dari 10 tahun. Sebut saja diantaranya Thailand, Brasil, Prancis, Amerika Serikat. Sebaliknya, di Indonesia kenaikan cukai tak banyak menurunkan angka perokok.
Terbukti prevalensi perokok pada 1995 adalah 27 persen, dan pada 2018 justru mencapai 33,8 persen.
Dia menilai, kondisi ini disebabkan oleh struktur cukai yang banyak jenjang, sehingga di pasaran banyak merek rokok mulai dari harga yang murah hingga termahal.
Varian harga yang ditawarkan ini memicu konsumen memiliki lebih banyak pilihan dan akhirnya tidak berhenti merokok.
Indonesia menjadi satu-satunya negara Asean yang tidak menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.
Meski demikian, Indonesia memiliki sejumlah landasan yuridis yang seharusnya bisa mengendalikan prevalensi perokok selain dengan menaikkan cukai.
Beberapa aturan itu di antaranya UU Kesehatan Nomor 23/1992, Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999, Peraturan Pemerintah Nomor 83/2000, Peraturan Pemerintah Nomor 19/2003, Amandemen UU Kesehatan Nomor 36/2009, Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012, dan Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012.
Sebenarnya melalui UU Kesehatan Nomor 23/1992 pemerintah Indonesia sudah memandatkan untuk mengembangkan peraturan yang detail dan praktis dalam membatasi dampak tembakau terhadap kesehatan masyarakat.
Aturan ini pun diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999, dan Nomor 38/2000 yang mengatur kandungan maksimal nikotin, membatasi iklan, dan promosi produk tembakau.
Pada Pasal 113 sampai 116, UU Kesehatan Nomor 38/2009 sebagai hasil revisi dari UU Kesehatan Nomor 23/1992, juga sudah memerinci sejumlah mandat bagi masyarakat untuk mengurangi rokok.
Misalnya, pada Pasal 113 memandatkan kandungan adiktif termasuk tembakau dan produk yang mengandung tembakau harus dibatasi untuk mengurangi risiko kesehatan. Pasal 114 juga memandatkan kawasan bebas rokok.
Senada dengan Nur, Head of Fiscal Policies for Health Unit Head Promotion Department WHO Quarter Jeremias N Paul menilai jika kenaikan cukai rokok dilakukan dalam jumlah yang tinggi secara berkala, pemerintah bisa mendulang dana tersebut untuk kebutuhan pembangunan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
"Pengenaan cukai rokok harus naik secara berkelanjutan at least 25 persen per tahun untuk memiliki dampak yang positif pada penerimaan maupun penurunan konsumsi,” ungkapnya.
WHO menjabarkan dengan kenaikan tarif cukai rokok 25 persen tiap tahun dan simplifikasi cukai rokok hanya sebanyak 5 layer, maka potensi penerimaan dari cukai rokok ini bisa sebesar Rp254,8 triliun di 2022.
Tak hanya itu, angka pengguna rokok bisa ditekan sampai 4,8 juta. Begitupun dengan dampak merokok terhadap kematian ibu akibat kelahiran prematur bisa ditekan lebih dari 1 juta orang.
Dia menambahkan, diperlukan kerja sama lintas sektor yang kuat untuk mencapai efektivitas dalam menaikkan cukai rokok.
Oleh sebab itu, Jeremias menganjurkan pentingnya intervensi tambahan jika diperlukan untuk menjamin target yang tepat sasaran dalam penurunan angka perokok.
Dia pun membandingkan banyak sekali struktur dalam tarif cukai rokok di Indonesia yang terlampau rumit.