Bisnis.com, JAKARTA -- Kekuatan utama yang ditawarkan oleh Labuan Bajo sebagai wisata premium hanyalah eksistensi hewan purba dunia yaitu Komodo.
Makhluk karnivora melata menjadi ikon yang menjanjikan bagi wisata dan kontribusi ekonomi bagi masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur. Nyatanya masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang cukup berat untuk mempopulerkan wisata kelas premium ini.
Berdasarkan dengan pantauan Bisnis.com, Kamis (29/10/2020), dengan viralnya sejumlah komentar warganet yang mengecam pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca karena akan mengganggu populasi komodo, diperlukan langkah pariwisata berkelanjutan yang ramah ekosistem.
Bagaimana tidak, jika dibandingkan dengan Bali, atau lokasi wisata bahari di belahan dunia lain, Labuan Bajo belum memberikan nilai tambah lain di luar keindahan alam. Artinya, sejumlah atraksi khususnya pada sektor dan seni budaya perlu dikembangkan untuk menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Tidak banyak komunitas masyarakat yang berkembang dan bisa memberi pengalaman tambahan bagi wisatawan. Benar saja, sejumlah wisatawan masih kerap mengeluhkan sulitnya mencari buah tangan maupun makanan khas dari masyarakat Labuan Bajo.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno menyatakan selama ini pengembangan wisata alam di arena Taman Nasional Komodo sangat dibatasi, hanya ada Zona Pemanfaatan.
"Ini prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak dari perencanaan tata kelola TNK tersebut," ujar Wiratno dikutip dari materi paparan, Kamis (29/10/2020).
Sementara itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pernah menegaskan pentingnya memperkuat komunitas masyarakat untuk menampilkan usaha mikro kecil menengah berbasis produk pertanian.
Kehadiran pangan lokal dengan proses industri yang komprehensif dari hulu ke hilir bisa menjadi daya tarik dan perkembangan bagi wisata gastronomi.
Magdalena Oa Eda Tukan, Ketua Pelaksana Harian Simpasio Institute punya pendekatan yang berbeda. Dia mengakui lebih memilih jalur pengembangan komunitas seni dan budaya di Nusa Tenggara Timur guna mendorong nilai tambah pariwisata. Visi ini pun menurut Eda bukan perkara yang mudah.
Untuk membangun Simpasio Institute, sebuah komunitas kajian seni, budaya, dan pengarsipan karya di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur saja memakan waktu 34 tahun.
“Simpasio ini embrionya dari bahasa Larantuka, Simpa Sio, yang artinya kalau ada barang jangan dibuang, disimpan dulu. Karena nanti akan digunakan lagi. Itulah semangat dari kedua orangtua saya selama 34 tahun membangun Simpasio Institute,” ujar Eda dalam webinar bersama Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo.
Alumnus Universitas Trisakti ini mengaku pada awalnya, Simpasio Institute hanya berangkat dari tekad sang ayah untuk menyimpan semua dokumen publikasi seni serta budaya di daratan Flores.
Tak disangka, tekad itu berkembang menjadi pusat kajian yang menyediakan informasi sosial, seni, dan budaya bahkan menjadi komunitas literasi.
Berbekal sejumlah ide, kini Eda bahkan memperluas cakupan Simpasio Institute sebagai media belajar bagi anak-anak di kawasan itu. Simpasio Institute bahkan menggelar kegiatan seni dan budaya secara aktif bersama anak-anak, yakni Serwisu Berbuda, pentas seni dan teater, kemah budaya, kampung literasi, dan kemah literasi.
“Kami juga menggelar Semiloka Pangan Lokal, yang mana mengolah pangan lokal misalnya sorgum, umbi, kelor, menjadi lebih kekinian,” terang Eda.
Eda menilai langkah kecil ini akan berkembang dengan baik jika ada dukungan lintas stakeholder. Sehingga, daratan Flores tidak hanya menawarkan wisata alam tetapi juga wisata seni dan budaya dari komunitas masyarakat setempat yang menjamin pariwisata lebih berkelanjutan.