Bisnis.com, JAKARTA - Selasa, 2 Maret 2021, tepat satu tahun sejak kasus infeksi Covid-19 pertama di Indonesia muncul. Meskipun vaksinasi sudah mulai bergulir, jumlah pasien Covid-19 masih tinggi di Tanah Air.
Selama setahun, per pagi ini, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan terdapat 1.341.314 terkonfirmasi positif. Dari angka tersebut 1.151.915 sudah dinyatakan sembuh dan 36.325 meninggal.
Dua guru besar dari universitas kenamaan angkat bicara. Ari Fahrial Syam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Chairul Anwar Nidom dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga memberikan gambaran dan evaluasi bagaimana penanganan pandemi di Indonesia.
Ari yang merupakan Dekan FKUI menjelaskan, di awal Indonesia termasuk memiliki respon yang lambat dalam penanganan Covid-19 ini. Dia menceritakan bahwa pada akhir Januari 2020, pihaknya sudah melakukan simposium awal, karena berpotensi mencapai pandemi saat itu.
“Kami berharap pemerintah siap, dan kami terus-terusan bilang agar menjaga ketat pintu masuk. Kami berkali-kali bicara itu,” ujarnya, Selasa (2/3/2021).
Masalah lainnya, Ari yang juga Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI itu melanjutkan, kesiapan dari laboratorium yang di awal hanya boleh dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan. Padahal, dia berujar, hal itu merupakan pekerjaan sehari-hari para dokter dan ilmuwan di bidangnya.
“Meskipun akhirnya kita dilibatkan setelah beberapa waktu. Itu juga terlambat,” kata pria berusia 54 tahun itu.
Menurutnya, Covid-19 ini memang di dunia terjadi secara tiba-tiba, sehingga muncul masalah keterbatasaan alat pelindung diri (APD). Hal ini memunculkan masa sulit di awal-awal pandemi, termasuk dalam melakukan tes swab yang sempat kewalahan.
“Kami dari Universitas Indpnesia telah melakukan kontribusi. Seperti membuat ventilator, dan masih ada beberapa hal yang dilakukan, termasuk edukasi,” tutur Ari.
Selain itu, Ari menyebutkan adanya masalah ego sektoral yang terjadi di Indonesia dalam menangani pandemi, ditambah dengan komitmen atau kebijakan terkait dengan libur panjang yang menimbulkan ledakan kasus hingga tembus lebih dari satu juta orang yang terinfeksi
Namun, kata Ari, semakin hari pihaknya tetap optimistis. Karena menurutnya, masyarakat sudah mulai paham dan patuh dengan protokol kesehatan. “Yang kita takutkan terjadinya second wave atau lonjakan kedua. Meskipun sekarang sudah turun kasusnya, tapi harus tetap diingatkan untuk 3M,” katanya.
Dihubungi terpisah, Nidom yang merupakan Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler dari FKH Unair menceritakan, saat setahun lalu Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan adanya kasus pertama yang muncul di Depok, Jawa Barat, Indonesia seperti orang yang baru bangun.
Menurutnya, berdasarksn pengalaman wabah flu burung yang sudah terjadi lebih dulu, seharusnya para ahli (terutama ahli virologi) dikumpulkan, sehingga bisa segera diketahui karakter virus ini.
“Tapi sepertinya cukup lama tidak terbentuk semacam Satgas, sehingga persiapan dan penanganan tidak terkordinasi dalam satu komando. Saya ingat Maret 2020 mengusulkan agar dilakukan lockdown kepulauan, tapi akhirnya berdasarkan wilayah,” ujar dia, Senin malam.
Selama setahun perjalanan pandemi ini, kata Ketua tim Laboratorium Professor Nidom Foundation (PNF) itu, tidak tampak jelas arahnya. Namun, hal ini juga terjadi di negara-negara lain yang masih juga belum memiliki titik terang dalam penanganannya.
Dia menyebutkan meskipun ada ramalan berakhirnya pandemi pada April 2021 atau Agustus 2021, termasuk awal 2022, tetap belum bisa dipastikan. Karena masih mengabaikan karakter Covid-19.
Virus ini, disebutnya sangat cerdik dan suka meliuk. Dia mencontohkan beberapa kasus seperti yang akhir-akhir ini terjadi di India, awalnya sudah turun drastis, tapi tiba-tiba muncul jumlah kasus baru yang tinggi, ditambah dengan munculnya varian Covid-19 baru di Inggris dan Afrika Selatan
Bahkan, Nidom berujar, akhir-akhir ini telah diidentifikasi koalisi virus Inggris dengan virus California. “Jika ini benar adanya, suatu hal aneh sifatnya, mengingat yang bisa berkoalisi hanya virus influenza. Jadi sudah setahun belum bisa mengidentifikasi karakter virus ini,” tutur Nidom.
Profesor di FKH Unair itu menjelaskan, pihaknya dari tim Laboratorium PNF, sejak awal Februari 2020 saat Covid-19 menginfeksi Wuhan, Provinsi Huberi, China, sudah khawatir terjadinya perluasan wilayah infeksi. Namun, di Indonesia belum melakukan antisipasi bila sewaktu-waktu penyakit itu masuk.
“Dan saat itu saat juga menyampaikan tentang empon-empon atau rempah-rempah, agar masyarakat tidak terlalu panik. Syukur empon-empon tersebut tetap digunakan oleh sebagian besar orang,” katanya menambahkan.