Bisnis.com, JAKARTA - Para peneliti di Universitas California San Francisco dan Berkeley menemukan fakta bahwa asap kebakaran hutan juga berdampak buruk untuk kulit. Sebelumnya kebakaran tersebut dikaitkan dengan masalah gangguan pernapasan hingga penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung atau stroke yang mengancam jiwa.
"Penelitian yang ada tentang polusi udara dan hasil kesehatan telah difokuskan terutama pada hasil kesehatan jantung dan pernapasan. Tetapi ada kesenjangan dalam penelitian yang menghubungkan polusi udara dan kesehatan kulit," kata Raj Fadadu, penulis utama dalam penelitian yang terbit di jurnal JAMA Dermatology, kemarin.
Dia menjelaskan kulit adalah organ terbesar tubuh manusia, dan selalu berinteraksi dengan lingkungan luar. “Jadi, masuk akal jika perubahan di lingkungan luar, seperti peningkatan atau penurunan polusi udara, dapat memengaruhi kesehatan kulit kita,” tegasnya.
Raj menjelaskan bahwa polusi udara dari kebakaran hutan yang terdiri dari partikel halus (PM2.5), hidrokarbon polisiklik aromatik (PAH), dan gas, dapat berdampak pada kulit normal dan rawan eksim dalam berbagai cara.
Polutan ini sering kali mengandung senyawa kimia yang bertindak seperti kunci, memungkinkannya lolos melewati penghalang luar kulit dan menembus ke dalam sel, di mana dapat mengganggu transkripsi gen, memicu stres oksidatif, atau menyebabkan peradangan.
Eksim, atau dermatitis atopik adalah kondisi kronis yang memengaruhi kemampuan kulit untuk berfungsi sebagai penghalang efektif terhadap faktor lingkungan. Karena pelindung kulit telah rusak, orang dengan kondisi ini rentan terhadap kemerahan, kulit gatal sebagai respons terhadap iritan, dan bahkan mungkin lebih rentan terhadap bahaya dari polusi udara.
"Kulit adalah penghalang fisik yang sangat baik yang memisahkan kita dan melindungi kita dari lingkungan," kata penulis senior studi Dr. Maria Wei, seorang spesialis kulit dan melanoma di UCSF.
Namun, sambung Wei, ada kelainan kulit tertentu seperti dermatitis atopik yang pembatasnya tidak berfungsi sepenuhnya. “Ini tidak normal meski tidak ada ruam. Jadi, masuk akal jika terpapar polusi udara yang signifikan, orang dengan kondisi ini mungkin merasakn efek pada kulit,” imbuhnya.
Studi sebelumnya telah menemukan hubungan antara dermatitis atopik dan polusi udara di kota-kota dengan tingkat polusi udara yang tinggi dari mobil dan industri. Namun, ini adalah studi pertama yang meneliti dampak ledakan singkat udara yang sangat berbahaya dari kebakaran hutan.
Beranjak dari kebakaran hutan langganan di wilayah Teluk San Francisco, tim memeriksa data lebih dari 8.000 kunjungan ke klinik dermatologi oleh orang dewasa dan anak-anak antara Oktober 2015, 2016 dan 2018, dan Februari tahun berikutnya. Mereka menemukan bahwa, selama itu, kunjungan klinik untuk dermatitis atopik dan gatal-gatal umum meningkat secara signifikan pada pasien dewasa dan anak-anak.
"Sepenuhnya 89 persen dari pasien yang mengalami gatal-gatal selama kebakaran hutan tidak memiliki diagnosis dermatitis atopik yang diketahui, menunjukkan bahwa orang dengan kulit normal juga mengalami iritasi atau penyerapan racun dalam waktu yang sangat singkat,” jelasnya.
Studi tersebut juga mendokumentasikan peningkatan tingkat pengobatan yang diresepkan, seperti steroid, selama masa polusi udara akiba asap kebakaran hutan yang menunjukkan bahwa pasien dapat mengalami gejala yang parah.
Untuk tetap terlindungi, para peneliti mengimbau agar masyarakat sebaiknya tetap berada di rumah atau di dalam ruangan selama musim kebakaran hutan. Gunakan pakaian yang menutupi kulit jika harus pergi keluar, dan menggunakan emolien yang dapat memperkuat fungsi pelindung kulit. Obat baru untuk mengobati eksim yang disebut Tapinarof, sekarang dalam uji klinis dan juga bisa menjadi alat yang berguna selama polusi udara.