Bisnis.com, JAKARTA – Istilah ‘Covid-22’ mulai menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah seorang profesor menggunakan istilah ini. Faktanya, itu merupakan frasa yang tidak tepat untuk merujuk pada keadaan wabah virus corona pada tahun 2022.
Apa itu Covid-22? Covid-22 adalah frasa yang digunakan oleh Profesor Sai Reddy, seorang profesor Sistem dan Imunologi Sintetis di universitas ETH Zurich, selama wawancara tentang pandemi dengan Blick, sebuah surat kabar berbahasa Jerman-Swiss.
Mengomentari program vaksinasi dan munculnya varian Delta yang menular, menurut terjemahan, Prof Reddy mengatakan ini bukan lagi Covid-19. Dia menyebutnya Covid-22, seperti dilansir dari inews.co.uk, Senin (30/8/2021).
Dia juga mengomentari fase pandemi berikutnya yang dapat membuat varian Beta atau Gamma menjadi lebih menular, atau strain Delta dapat mengembangkan mutasi.
“Itu akan menjadi masalah besar untuk tahun mendatang. Covid-22 bisa lebih buruk dari apa yang kita saksikan sekarang, ”katanya.
Mengingat pandemi dimulai oleh virus corona baru pada tahun 2019, dengan penyakit yang kemudian dinamai Covid-19, beberapa orang mengira Prof Reddy menyarankan akan ada jenis lain tahun depan yang lebih mematikan daripada varian Delta yang sangat menular.
Namun, dia berbicara tentang bagaimana SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19, muncul pada tahun 2022.
Beberapa tokoh mengomentari istilah Covid-22, salah satunya. Jeremy Rossman, dosen honorer senior bidang virologi di University of Kent. Mengutip Newsweek, Senin (30/8/2021), dia mengatakan tidak benar memberi label varian Covid dengan cara ini dan mengatakan tidak ada yang namanya Covid-22.
"Kriteria untuk varian baru yang disebut Covid-22 tidak ditentukan saat ini; namun, ini kemungkinan perlu menjadi spesies virus baru dan bukan hanya varian baru. Sebagai referensi, kami hanya memiliki satu spesies Covid-19 saat ini."
Bahkan dengan varian Covid saat ini, para ilmuwan belum mengidentifikasi mutasi genetik yang menyebabkan virus menjadi spesies yang sama sekali baru sehingga istilah Covid-22 atau Covid-21 diperlukan. Rossman menambahkan bahwa mungkin saja kita tidak akan pernah menggunakan istilah seperti ini.
Prof Reddy kemudian mengklarifikasi komentar wawancaranya di surat kabar berbahasa Jerman yang berbasis di Swiss, Blick.
“Saya ingin mengambil kesempatan untuk mengklarifikasi di sini. Tidak tepat menyebutnya Covid-22, karena nama resmi dan benar penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 adalah Covid-19.
Untuk memperjelas, pernyataannya beberapa waktu lalu dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa dia percaya Covid pada tahun 2022, khususnya awal tahun (Januari – Maret) memiliki peluang lebih buruk dari tahun ini, Covid pada tahun 2021.
“Konteks lengkap mengapa saya percaya ini didasarkan pada faktor-faktor berikut:
(i) munculnya varian Delta yang menunjukkan peningkatan transmisi,
(ii) potensi munculnya dan penyebaran varian yang mengalami mutasi pada protein lonjakan yang dapat menyebabkan lolosnya kelas antibodi penetralisir tertentu,
(iii) sebagian besar orang yang tidak divaksinasi di Swiss (dan bagian lain Eropa),
(iv) pelonggaran pembatasan yang membuat penularan virus lebih mudah (misalnya, makan di dalam ruangan, acara, konser).”
Dikutip dari Alodokter, Dokter Theresia Rina Yunita menjelaskan, selama masih ada manusia tempat virus bernaung, maka mutasi virus bisa terus bermunculan. Tak menutup kemungkinan jika suatu saat akan muncul kembali mutasi baru dari coronavirus yang jauh lebih berbahaya.
“Varian coronavirus yang diperkirakan akan muncul ini sebenarnya adalah bagian alami dari evolusi virus. Jadi, varian virus yang sudah ada saat ini akan bermutasi lagi menjadi varian baru yang diduga akan lebih berbahaya,” jelas dr. Theresia.
Varian Delta saat ini masih menjadi varian yang dianggap paling berbahaya. Namun, varian ini tidak dapat menghindari sistem kekebalan.
Mutasi yang lolos dari sistem kekebalan terlihat pada beberapa varian seperti Beta. Vaksin dianggap menjadi kurang efektif dalam melawan varian tersebut dan mungkin perlu vaksin berbeda untuk melawannya.
Varian Beta dianggap lebih mematikan dan mampu menghindari sistem kekebalan tubuh, sementara Delta penularannya lebih cepat.
Para ahli khawatir, jika varian-varian ini bergabung maka masalah lebih serius mungkin saja timbul.
Menurut dr. Theresia, saat ini para peneliti masih terus meneliti virus ini. Begitu juga dengan vaksinnya, apakah nantinya vaksin dapat mencegah virus COVID-22 atau tidak belum diketahui.
Para ahli mengingatkan strain gabungan dari varian Beta, Gamma, dan Delta dapat menjadi mutasi yang lebih kuat. Mungkin vaksin yang ada saat ini tidak terlalu efektif dalam melawan varian tersebut.
“Mungkin vaksin yang kita dapat akan less effective. Untuk meningkatkan efektivitas vaksin, mungkin diperlukan booster. Produsen vaksin nantinya harus cepat menyesuaikan jika muncul varian baru,” ucap dr. Theresia.
Manfaat suntikan booster adalah memastikan orang memiliki jumlah perlindungan maksimum.
Pasalnya, kekebalan tubuh bisa berkurang seiring waktu. Vaksin bisa saja diperbarui dan disesuaikan dengan varian baru.
Saran dari dr. Theresia, jangan pernah lengah untuk melakukan pencegahan. Tetap lakukan protokol kesehatan meski sudah vaksinasi. Gunakan masker, rajin mencuci tangan, jauhi kerumunan, dan kurangi mobilitas.