Bisnis.com, JAKARTA – Menyelami dunia digital tidak hanya sekedar menekan tombol untuk membuka suatu portal berita media, namun elemen-elemen dalam suatu isi yang dipublikasikan di dalamnya menjadi penting untuk ditelusuri. Untuk itu, ada baiknya untuk selalu membuka mata untuk informasi yang penuh dengan fakta.
Hal tersebut tentunya akan menjadi konten yang sangat berkualitas apabila dibuat dan dirancang dengan baik berdasarkan pengetahuan dan fakta-fakta. Sumber yang kredibel dan akurat menjadi acuan untuk dapat memberikan konten yang berbobot, sehingga menjadi bermanfaat pula untuk dibaca masyarakat. Menjelajahi fakta juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui apakah informasi tersebut benar adanya atau tidak.
Menampilkan iklan dan konten berkualitas dalam suatu media menjadi andalan bagi masyarakat untuk mengetahui informasi terbaru. Untuk itu, perlunya kita menghindari kesalahpahaman dari isi konten yang telah dibuat untuk publik. Demikian hasil diskusi dalam webinar yang diselenggarakan pada Kamis, 10 Maret 2022 oleh Indonesia Digital Association (IDA) bersama Tempo.co, MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan didukung oleh platform periklanan MGID. Dalam webinar tersebut, dijelaskan bagaimana caranya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan serta cara mudahnya untuk merancang suatu konten yang berkualitas.
Dedy Helsyanto selaku Project Officer Program Media & Pemeriksa Fakta MAFINDO, menjelaskan bahwa yang menjadi tantangan dari dahulu dan sekarang adalah etika periklanan khususnya di media digital. Bagaimana periklanan bisa berdampak kepada konsumen dan penggunaan medium digital ditengah derasnya arus informasi. Ia juga menjelaskan bagaimana caranya agar kita tidak menyebarkan berita bohong (hoax) atau kekacauan informasi dalam bentuk apapun, yang dapat merugikan orang lain.
Dalam mengurangi hoaks agar tidak tersebar banyak, Dedy mengatakan “Sedikit rekomendasi dari saya, kuncinya adalah meningkatkan literasi media. Melihat 10 negara dengan tingkat kepercayaan terhadap media, Indonesia berada di peringkat ke-2. Artinya kondisi hari ini kepercayaan terhadap media itu terus meningkat atas usaha dari teman-teman yang berkecimpung dalam ekosistem media, meskipun begitu, ada tantangan-tantangan seperti hoaks yang berkaitan dengan iklan.”
Kekacauan informasi terdiri dari tiga jenis, yaitu misinformasi, disinformasi, dan mal informasi. Misinformasi adalah penyebaran informasi yang tidak diketahui kebenaran isinya, kemudian disinformasi adalah penyebar yang mengetahui bahwa informasi itu keliru namun tetap disebarkan. Sedangkan untuk mal-informasi, yaitu penyebaran informasi yang digunakan untuk menjatuhkan seseorang atau sebuah pihak.
“Dalam bahasa sehari-hari kita sebutnya hoax,” ujar Wahyu Dhyatmika selaku CEO Tempo.co. Situasi kepercayaan publik kepada media informasi sedang dipertaruhkan, karena bangunan ekosistem informasi bisa rubuh jika masyarakat tidak percaya lagi kepada media yang menyiarkan media berbasis jurnalistik.
“Kalau publisher memuat konten misleading news, sebetulnya ranahnya sudah clear. Dia bisa diadukan ke dewan pers, kemudian harus mencabut pemberitaan itu, mengoreksi, meminta maaf, dia harus membersihkan konten news dari misinformasi tersebut. Jadi, alur penyelesaiannya, solusinya jelas. Jika ada media yang secara keliru menyiarkan misinformasi, maka jalurnya adalah ke dewan pers,” ungkap Wahyu.
Dalam iklan, tampaknya belum ada kesepahaman mengenai hal tersebut, dimana banyak konten iklan yang mengelabui publik. Berbeda dengan pemberitaan, ranah untuk mengadili kendala tersebut bisa langsung diatur oleh Dewan Pers. “Sementara kalau di iklan, ini merupakan sebuah wilayah yang abu-abu, jadi menggelitik kami, bagaimana sebenarnya aturannya?,” tambah Wahyu mengenai perihal hoaks.
Selain itu, Moch Rifki dari MGID juga turut memaparkan bagaimana kualitas iklan yang baik untuk disampaikan kepada publik. “Iklan yang ada di low quality content environment mempunyai konsekuensi yang cukup perlu diperhatikan. Di Indonesia, sebanyak 90 persen konsumen merasa terganggu saat ada brand yang muncul bersebelahan dengan low quality content,” katanya.
Native Ads memiliki pertumbuhan yang signifikan selama 5 tahun terakhir di Indonesia karena lebih baik daripada standar SBM dan digunakan terus menerus untuk mempromosikan iklan. Untuk menghasilkan konten iklan yang berkualitas, maka media harus bisa menganalisa suatu konten dengan seksama.
Moch Rifki mengatakan MGID meluncurkan inisiatif yaitu High Safety Ranking untuk mengatasi beberapa isu tentang kualitas konten iklan di Indonesia. Di dalam High Safety Ranking yang diluncurkan MGID tersebut, terdapat beberapa kualifikasi untuk mengiklankan produk. Misalnya, mengiklankan produk obat harus sudah ada sertifikasi dari BPOM, atau untuk produk investasi harus sudah terdaftar di BAPPEBTI atau OJK.
Untuk itu, Moch Rifki juga mengatakan bagaimana caranya untuk mengedukasi agar klien dan pihak advertiser dapat menyesuaikan iklannya sehingga sesuai dengan High Safety Ranking. Publisher juga akan merasakan impactnya berkat High Safety Ranking ini. Serta iklan yang nyata bisa dirasakan juga dampak positifnya oleh pengguna yang memiliki iklan tersebut.