Ilustrasi film/Dribbble
Entertainment

Hari Film Nasional, 'Darah dan Doa' Jadi Awal Sejarah Peringatan

Mia Chitra Dinisari
Rabu, 30 Maret 2022 - 08:19
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - 30 Maret 1950 film berjudul "Darah dan Doa", menjadi film lokal pertama yang diproduksi oleh Indonesia, dimulai pengambilan gambarnya.

Pembuatan film ini kemudian menjadi peringatan Hari Film Nasional Indonesia.

Film Darah dan Doa (1950) disutradarai oleh Usmar Ismail yang merupakan film pertama yang disutradarai orang dan perusahaan Indonesia serta dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia.

Peringatan ini diresmikan oleh B.J. Habibie pada 30 Maret 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional yang ditetapkan. Dalam Keppres itu disebutkan pula bahwa peringatan Hari Film Nasional bukan hari libur nasional.

Peringatan ini dibuat dalam upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional.

Darah dan Doa adalah sebuah film Indonesia karya Usmar Ismail yang diproduksi pada tahun 1950 dan dibintangi oleh Farida. Film ini merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara (setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia).

Film ini ialah produksi pertama Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting pertama film ini (30 Maret 1950) kemudian dirayakan sebagai Hari Film Nasional berdasarkan Keppres Nomor 25/1999. Kisah film ini berasal dari skenario penyair Sitor Situmorang, menceritakan seorang pejuang revolusi Indonesia yang jatuh cinta kepada salah seorang Gadis Jerman yang bertemu dengannya di tempat pengungsian.

Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long March) prajurit Divisi Siliwangi RI, yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kepten Sudarto (Del Juzar). Perjalanan ini diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.

Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan sebagai pahlawan tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak seperti peragu. Pada waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro